Mohon tunggu...
RIFKA H.
RIFKA H. Mohon Tunggu... -

Pahami => Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maqosid Asy-syari'ah: Hasil Hamil Diluar Nikah, Siapa yang Berhak Menjadi Wali Nikah?

3 Februari 2017   18:09 Diperbarui: 3 Februari 2017   18:25 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maqosid asy-Syari’ah merupakan tujuan diberlakukannya syari’ah untuk mencapai kemaslahatan umat. Beberapa istilah yang memiliki relevansi dengan maqosid asy-syari’ah antara lain, ratio logis, hikmah, rahasia , maksud/arti, dan tujuan. Alasan adanya maqosid asy-syari’ah adalah asal dari setiap syari’ah yang bernuansa ibadah adalah penyembahan diri kepada Allah (ta’abbudi), sedangkan syari’ah yang bermakna ‘adah (selain ibadah) harus mempertimbangkan makna dan tujuan persyari’atannya. 

Lantas, bagaimana jika ada seorang wanita dan laki-laki (A) melakukan hubungan suami istri diluar nikah, sehingga hamil dan melahirkan anak perempuan, namun, karena laki-laki (A) tersebut tidak bertanggungjawab, maka wanita itu menikah dengan laki-laki lain (B). ketika anak perempuan beranjak dewasa dan akan menikah, maka siapa yang berhak menjadi wali nikah? bagaimana implementasi maqosid asy-syari’ah dalam problem tersebut? yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim, yakni pemerintah (presiden Indonesia) yang berhak menunjuk pegawai/pejabat-pejabat tertentu sampai kepada Kepala K.U.A Kecamatan. Karena wali nasab yang sudah ditentukan, yakni ayah, kakek (ayahnya ayah atau ayahnya lagi), saudara kandung (laki-laki), saudara seayah, paman (saudara laki-laki dari ayah, sekandung, atau seayah), anak laki-laki dari paman, sudah tidak ada (meninggal atau berada di tempat jauh, lebih dari masafatul qashri kira-kira 90 km) atau wali tersebut menolak kewajibannya menjadi wali. 

Namun, dalam hal ini yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bukan laki-laki (A) yang menjadi wali nikah? Karena, sebelumnya telah melakukan hubungan suami istri tanpa akad nikah, sedangkan dalam Islam, syarat syah untuk terlaksananya hubungan suami istri adalah akad nikah, jadi haram baginya (laki-laki A) untuk menjadi wali nikah, apalagi famili (kerabat-kerabat terdekatnya). Dan mengapa bukan laki-laki (B) yang menjadi wali nikah? Karena meskipun laki-laki (B) bertanggungjawab untuk menikahi ibu dari perempuan yang akan menikah tersebut, tetaplah bukan ayah kandung, sedangkan persyaratan menjadi wali nikah perempuan adalah ayah kandung, jika tidak ada famili (kerabat dekatnya). Dari implementasi maqosid asy-syari’ah inilah akan menjadikan seseorang tenang, dan menghilangkan kelesuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun