Mohon tunggu...
Rifka Annisa
Rifka Annisa Mohon Tunggu... -

Bekerja sama menabur cinta kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arisan “Kesetaraan dengan Difabel”

13 Desember 2011   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin (21/11) Rifka Annisa tampil dalam acara Talkshow Arisan di Jogja TV . Acara yang hadir setiap hari senin pada pukul 14.30-15.30 tersebut menghadirkan perbincangan tentang“Membangun Kesetaraan dengan Difabel”. Perbincangan tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Muhammad Mustafit, S.Fil selaku direktur Ifada Institut dan Rina yang merupakan Manajer Divisi Pendampingan dari Rifka Annisa.

Pada acara Arisan kali ini, Rifka Annisa mengangkat topik ‘Membangun Kesetaraan dengan Difabel” sebagai sosialiasi kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang jatuh pada tanggal 25 November-10 Desember tiap tahunya. Selain itu, topik ini juga berkaitan dengan seminar Membangun Kesetaraan Bersama Difable: Suatu Tinjauan Psikologis, Yuridis, dan Sosiologis yang akan diadakan Rifka Annisa pada 9 Desember 2011 di Ruang Teatrikal Perpustakaan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dalam talkshow, kedua narasumber membahas mengenai fenomena kekerasan yang kerap menimpa para difabel. Menurut catatan Rifka Annisa sudah ada lima kasus yang terjadi sepanjang tahun 2011, atau sebesar 1,39 % dari keseluruhan kasus kekerasan yang tercatat di Rifka Annisa dan tidak menutup kemungkinan jumlah kasus kekerasan terhadap difabel jauh lebih banyak dibandingkan yang tercatat.

Banyak alasan mengapa penyandang difabel sering menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual.Mereka memiliki kerentanan yang disebabkan kemampuan kognitif mereka yang tergolong rendah (slow learner), sehingga mereka menjadi mudah untuk ditipu, dirayu, dan dibujuk. Ditambah dengan keterbatasan fisik yang mereka punya, seperti tidak bisa melihat, mendengar, dan bergerak lincah, membuat mereka cenderung tidak memiliki perlawanan diri. Apalagi karena kekurangan itu, mereka diasumsikan tidak mampu untuk memberikan kesaksian ataupun mengidentifikasi pelaku. Kedudukan mereka di mata hukum pun dipandang rendah dan para pelaku akhirnya lebih leluasa untuk menjalankan aksi kekerasan. Ironisnya, dari sekian kasus yang terjadi, sebagian besar pelaku kekerasan justru merupakan orang dekat si korban. Kebanyakan pelaku sering bertemu dan berada di lingkungan sekitar korban, yaitu keluarga, teman, dan tetangga.

Selain itu kekerasan terhadap difabel ternyata tidak terbatas pada ketidakadilan fisik, tetapi juga penilaian yang tidak manusiawi dari masyarakat.

“Difabel itu masih dianggap sebagai kutukan dalam keluarga, secara sosiologis, kaum difabel adalah sebuah kesialan dan harus disisihkan dari lingkungan pergaulan, ucap Mustafit”.

Difabel ditafsirkan sebagai ketidaknormalan dan banyak mendapat perlakuan kurang baik. Terlebih difabel diposisikan sebagai warga kelas dua. Mereka lebih banyak dikesampingkan dan tidak diberi fasilitas penunjang yang layak.

Minimnya informasi kepada keluarga difabel pun turut memperparah keadaan. Umumnya orang difabel malah disembunyikan dari dunia luar karena adanya perasaan malu memiliki anggota keluarga seperti itu. Padahal itu tidak semestinya dilakukan. Sebaliknya kita tidak boleh memenjarakan kebebasan mereka, agar struktur psikologis mereka tidak rapuh. Mereka pun perlu untuk bersosialisasi. Dukungan dan kesadaran dari keluarga amat penting, disamping mereka juga perlu diberikan pemahaman sejak dini mengenai kesehatan reproduksi. Terutama kaitannya dengan bagaimana menghadapi orang asing dan menjaga diri dari ancaman perilaku pelecehan seksual.

Hal yang tidak kalah penting, kita harus menciptakan lingkungan yang kondusif dan sportif untuk mereka. Adanya inferiority complex atau pandangan yang melihat dirinya serba kurang dan tidak setara dengan yang lain pada diri difabel harus ditekan. Di sisi lain pemerintah pun harus menghapuskan diskriminasi terhadap difabel, terutama di bidang hukum. Mereka wajib mendapatkan perlindungan dan kesetaraan yang sesuai dengan kondisi mereka, agar tidak ada lagi diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada kaum difabel.

Dapat juga dilihat di http://rifka-annisa.or.id/go/arisan-%E2%80%9Ckesetaraan-dengan-difabel%E2%80%9D/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun