Maaf kalau dari judul yang terlihat serius dan ilmiah ini tidak didukung dengan pengamatan ilmiah, namun saya pikir baik untuk berbagi hal ini. Tulisan ini didasari pengamatan selama 1,5 tahun saya belajar di salah satu Universitas negeri di Bandung.
Hari pendidikan nasional 2 Mei hampir seluruh surat kabar mengangkat mahalnya pendidikan di perguruan tinggi. Akhirnya kemampuan pembiayaan orang tua atau pribadi lah yang menentukan.
Untuk masuk ke PTN seperti yang kita ketahui dapat masuk dari SNMPTN dan Ujian Mandiri. di universitas saya,untuk ujian mandiri diberi kebebasan kepada fakultas untuk menetapkan sumbangannya. Rata-rata dimulai dari 15 jt - 200 jt. Sedangkan SNMPTN untuk masuk kena biaya 6 jt (tergantung fakultas juga).
Sebagai contoh terdapat dua fakultas. Fakultas A,berbasis pengetahuan alam namun peminatnya tidak sebanyak Fakultas B,berbasis pengetahuan sosial. Untuk itu,penetapan biaya masuk fakultas A lebih murah ditimbang fakultas B. Ditambah lagi,sekitar 60 persen mahasiswa masuk dari ujian mandiri. Di fakultas B,calon mahasiswa menetapkan sumbangan tinggi agar dapat masuk melalui ujian mandiri. Sebaliknya,di fakultas A,seandainya ada yang masuk dari ujian mandiri penetapan sumbangan akan seminimal mungkin.
Jadilah berdasarkan latar penerimaan itu,di dalam satu universitas terdapat kesenjangan antarfakultas, yang ternyata berdampak terhadap karakteristik mahasiswa dan fakultas itu sendiri.
Saya coba melihat dari segi karakter mahasiswanya saja,tidak dengan karakter fakultas.
Pernah saya mewawancara seorang ketua lembaga dakwah Islam di salah satu Fakultas. Dia mengutarakan bahwa mahasiswa lain menilai mahasiswa Fakultas A,yang latar keluarga kelas menengah dan bawah,adalah fakultas (kemahasiswaan) paling Religius (Islami).
Kalau saya lihat, dampak latar ekonomi keluarga sangat berpengaruh terhadap gaya hidup. Di Fakultas B,kebanyakan gaya mahasiswa yang sering hangout, nongkrong di kafe, dll. Namun di Fakultas A, meskipun ada,tapi tidak sebanyak di Fakultas B.
Sebenarnya tidak masalah dengan kehidupan mewah,karena itu hak setiap orang. Namun yang saya ingin gambarkan disini, ya itulah fakta bahwa tidak semua orang bisa merasakan kemewahan. Bahkan sekitar 40 persen mahasiswa di Fakultas A bermasalah saat pembayaran semester. Akhirnya mereka berjuang keras mencari beasiswa dan sumbangan.
Akhirnya mungkin terlihat fakultas A mahasiswanya lebih sederhana,lebih relijius.
Semoga saja ini mampu membuka wawasan tentang keadaan pendidikan tinggi di Indonesia. Juga semoga, kehidupan relijius kita bukan hanya didasari kemampuan ekonomi kita,tapi memang semata-mata mengharap Ridho Allah yang Maha Esa.