Mohon tunggu...
Rifdatul Ariqoh
Rifdatul Ariqoh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Negeri Jakarta

Saya memiliki hobi menulis dan berharap dengan adanya platform blog ini, saya bisa membagikan karya yang saya miliki di sini.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pola Bunuh Diri di Era Digital: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

17 Desember 2024   08:29 Diperbarui: 17 Desember 2024   08:36 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, dan lingkungan. Di era digital, pola insidens rate bunuh diri menunjukkan perubahan signifikan karena pengaruh teknologi, media sosial, dan akses informasi yang tidak terbatas. Dunia digital, termasuk media sosial, internet, dan gadget sudah menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Teknologi yang memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi dan terhubung dengan orang lain juga membawa dampak yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Penggunaan media sosial yang berlebihan cenderung menimbulkan perasaan iri, tidak percaya diri, dan kesepian bagi sebagian orang. Kita seringkali membandingkan hidup kita dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di media sosial, tanpa menyadari bahwa apa yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang mereka alami. Selain itu, cyberbullying dan komentar negatif di media sosial juga dapat menyebabkan seseorang stres, depresi, dan bahkan berpikir untuk bunuh diri.

Mengapa Era Digital Berpengaruh pada Pola Bunuh Diri?

Di era digital, ada beberapa faktor risiko yang membuat seseorang lebih rentan melakukan tindakan bunuh diri. Salah satu yang paling umum, yaitu cyberbullying yang merupakan tindakan pelecehan atau intimidasi di dunia maya. Cyberbullying dapat membuat korban merasa tertekan, tidak berharga, dan terisolasi. Selain itu, fenomena FOMO (fear of missing out) atau rasa takut ketinggalan juga menjadi faktor risiko bunuh diri. Ketika seseorang terus-menerus melihat postingan orang lain yang tampak selalu bahagia, sukses, atau aktif di media sosial membuat mereka merasa bahwa hidupnya kurang berarti atau tertinggal dan akhirnya membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain. Tidak hanya itu, eksposur terhadap konten negatif, seperti glorifikasi bunuh diri atau informasi tentang metode bunuh diri juga menjadi masalah serius di era digital. Konten semacam ini dapat mempengaruhi orang-orang yang sedang merasa putus asa, membuat mereka berpikir bahwa bunuh diri merupakan solusi atas masalah mereka. Terakhir, penggunaan teknologi yang berlebihan sering kali mengurangi waktu tidur dan interaksi sosial secara langsung yang dapat memperburuk kesehatan mental seseorang.

 

Apa Saja Pola Bunuh Diri yang Rentan Dilakukan pada Era Digital?

Di era digital, ada beberapa pola bunuh diri yang dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kelompok sosial seseorang. Remaja dan dewasa muda seringkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap risiko bunuh diri di era digital. Perubahan hormonal, tekanan akademik, masalah identitas, dan tekanan sosial yang tinggi membuat mereka lebih rentan terhadap dampak negatif dari media sosial dan dunia maya. Dari segi jenis kelamin, meskipun angka bunuh diri pada laki-laki cenderung lebih tinggi, namun perempuan juga mengalami peningkatan risiko, terutama terkait dengan masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan dan lebih sering mengalami percobaan bunuh diri. Selain itu, kelompok sosial tertentu, seperti kelompok LGBT, individu dengan disabilitas, dan minoritas etnis, juga lebih rentan mengalami risiko bunuh diri. Mereka seringkali menghadapi diskriminasi, isolasi sosial, dan stigma yang dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka. Pola-pola ini menunjukkan bahwa faktor usia, jenis kelamin, dan kondisi sosial sangat mempengaruhi bagaimana seseorang bisa terpengaruh oleh masalah kesehatan mental yang terkait dengan dunia digital yang akhirnya mengakibatkan tindakan bunuh diri.

Apa yang Bisa Dipelajari dari Pola Bunuh Diri di Era Digital?

Dari pola bunuh diri di era digital, kita dapat belajar beberapa hal penting. Pertama, teknologi merupakan pedang bermata dua, dimana teknologi bisa membantu meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental dan juga memperburuk kondisi jika tidak digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan manfaat teknologi dengan cara mengurangi dampak negatifnya bagi kesehatan mental. Masalah bunuh diri di dunia digital memerlukan kolaborasi multisektoral, yaitu pemerintah, penyedia layanan kesehatan, platform teknologi, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental. Selain itu, kita harus membentuk budaya digital yang positif dengan cara menyebarkan konten yang mendukung kesejahteraan mental dan mencegah konten berbahaya yang bisa mempengaruhi orang secara negatif. Terakhir, investasi dalam pencegahan bunuh diri harus menjadi prioritas. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mengalokasikan sumber daya untuk penelitian, pengembangan layanan berbasis teknologi, serta program intervensi berbasis komunitas sehingga pencegahan bunuh diri bisa lebih efektif.

Hubungan dengan SDGs Goal 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

SDGs Goal 3 bertujuan untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang, dengan salah satu target utama, yaitu mengurangi angka kematian akibat bunuh diri hingga sepertiga pada tahun 2030. Dalam mencapai target tersebut, penting untuk memahami pola bunuh diri di era digital. Salah satu cara untuk mencapainya, yaitu dengan meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental, seperti aplikasi konseling atau layanan daring yang dapat membantu orang yang enggan mencari bantuan langsung. Namun, kesenjangan akses di beberapa negara perlu diatasi. Selain itu, pemerintah dan perusahaan teknologi harus memperketat dengan mengelola konten yang berpotensi berbahaya dan memprioritaskan konten yang mendukung kesehatan mental. 

Peningkatan literasi digital dan edukasi kesehatan mental juga sangat penting agar individu dapat menggunakan media sosial dengan bijak dan mengenali dampak negatifnya. Edukasi ini dapat membantu mengurangi stigma terkait kesehatan mental dan mendorong deteksi dini masalah mental. Terakhir, pendekatan berbasis data, analisis dari platform digital dapat membantu mengidentifikasi pola-pola risiko dan kelompok yang lebih rentan, seperti remaja atau dewasa muda sehingga kebijakan dan dukungan bisa efektif dan sesuai target. Dengan langkah-langkah tersebut, kita bisa lebih dekat untuk mencapai tujuan SDGs Goal 3, yaitu mengurangi angka bunuh diri dan meningkatkan kesehatan mental bagi semua orang.

Dengan memahami pola bunuh diri di era digital, kita dapat merancang strategi yang lebih tepat sasaran untuk menurunkan angka kematian akibat bunuh diri, mendukung kesehatan mental, dan mencapai target SDGs Goal 3 secara efektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun