Sudah bukan rahasia lagi kalau Facebook pimpinan Mark Zuckerberg membeli Whatsapp dan Instagram karena takut kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut di kemudian hari. Dengan tumpukan uang mudah saja bagi Mark Zuckerberg menyabotase masa depan gemilang perusahaan-perusahaan tersebut dengan cara membelinya.
Reputasi Mark Zuckerberg dan perusahaannya Facebook semakin hari memang semakin buruk terlebih lagi semenjak kasus Cambridge Analytica yang kabarnya juga sempat meraup sekitar 1 juta data pribadi pengguna dari Indonesia. Semenjak kasus tersebutlah seluruh dunia akhirnya mulai concern terkait keamanan data digital khususnya data pribadi/privacy.
Rasanya memang terlambat karena sebenarnya perdebatan tentang data-data digital ini sudah dimulai sejak awal-awal gempita Internet di Silicon Valley.
Senior Silicon Valley Jaron Lanier menceritakan bahwa sejak awalnya ada perdebatan dua kubu terkait layanan Internet/situs/aplikasi ini.
Kubu pertama yaitu kubu yang berpandangan bahwa layanan sebaiknya gratis dan keuntungan perusahaan didapat dari iklan sehingga ada resiko data pribadi dimanfaatkan.
Sedangkan kubu yang kedua adalah kubu yang berpandangan kalau layanan haruslah berbayar dan keuntungan perusahaan didapat dari biaya langganan pengguna sehingga data pribadi bisa dijamin aman.
Kedua kubu inilah yang sampai hari ini eksis karena ternyata kedua kubu tersebut sama-sama maju dan berkembang dalam bisnis layanan internet/situs/aplikasi. Layanan gratisan plus iklan yang saat ini memang mendominasi bisnis dan tumbuh sangat signifikan sedangkan layanan berbayar tetap bisa hidup dan berkembang sembari terus menyindir layanan gratisan plus iklan karena dianggap semakin hari cara beriklannya semakin keterlaluan.
Cara beriklan yang keterlaluan ini maksudnya adalah targeting ads, yaitu iklan yang ditargetkan pada individu tertentu berdasarkan data-data pribadi individu yang bersangkutan.
Data-data pribadi ini dapat menunjukan profil lengkap individu, apa yang dibutuhkan individu, dan apa yang sedang diinginkan individu.
Data-data pribadi ini didapat dari hampir seluruh aktivitas dan profil individu di dalam aplikasi, seluruh aktivitas individu di browser internet yang berkaitan dengan history dan cookies, dari metadata/informasi perangkat keras/gadget, daftar kontak, dan dari sistem operasi yang dipakai individu bersangkutan.
Keterlaluan bukan? Dalam hal kerakusan mengoleksi data pribadi pengguna ini juaranya adalah Facebook plus Instagram, runner up-nya adalah Google plus Youtube dan yang ketiga adalah Amazon.
Horornya adalah perusahaan-perusahaan besar tersebut terutama Facebook dan Google selalu hadir dalam hari-hari kita satu sampai dua dekade belakangan ini.
Walaupun Facebook juaranya Mark Zuckerberg tidak seperti Google dan Amazon yang sangat dingin dan menutup diri terkait masalah privasi dan koleksi data pribadi pengguna. Mark Zuckerberg berani unjuk diri dan bersuara kalau yang dilakukannya tersebut adalah untuk kebaikan bersama yaitu untuk menjadikan masyarakat dunia yang lebih guyub dan terkoneksi secara efektif.
Hal tersebut bisa dilihat ketika Mark Zuckerberg mengundang Yuval Noah Harari ke kantor pusat Facebook untuk berdiskusi terkait privasi/data pribadi dan kecerdasan buatan.
Apa yang dilakukan Mark Zuckerberg ini ibarat Jokowi yang mengundang Habib Rizieq ke Istana Merdeka untuk diskusi tentang Pancasila dan Agama secara empat mata yang disiarkan secara langsung.
Dalam diskusi yang rekamannya bisa dilihat di akun Facebook Mark Zuckerberg dan akun Youtube Yuval Noah Harari tersebut Yuval mengatakan kalau pengumpulan data pribadi secara massal dan massive akan berakibat buruk karena data pribadi tersebut memiliki kekuatan luar biasa dan akan ada pihak tertentu yang bisa mengontrol hal tersebut untuk kepentingan sendiri.
Sedangkan Mark Zuckerberg mengatakan hal yang sebaliknya kalau pengumpulan data pribadi itu akan berdampak baik karena akan membuat masyarakat dunia lebih guyub dan terkoneksi secara efektif satu sama lain. Keduanya tetap teguh pada persepsi masing-masing sampai diskusi selesai.
Persepsi Mark Zuckerberg tentang data pribadi inilah yang sering kita baca dalam kesepakatan privasi di aplikasi-aplikasinya. Dengan persepsi tersebut Mark Zuckerberg menjalankan perusahaan yang dimilikinya dan terus menerus mencoba menyedot data pribadi pengguna lebih banyak lagi. Ini terlihat dari notifikasi pembaruan kebijakan privasi Whatsapp baru-baru ini.
Di samping itu sebenarnya Mark Zuckerberg ini juga keras kepala karena persepsinya ternyata tidaklah benar bahkan berbeda 180 derajat dengan fakta lapangan. Fakta lapangan lebih dekat kepada apa yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari yaitu adanya aktivitas pengumpulan data pribadi secara massal dan massive untuk kepentingan pihak tertentu yang akibatnya sangat buruk, yang paling terlihat dan terasa adalah polarisasi yang terjadi hampir diseluruh belahan dunia.
Terkait fenomena tersebut hampir semuanya sepakat bahwa Facebook khususnya dan umumnya semua medsos pengumpul data pribadi seperti Youtube, Twitter, dan Instagram bertanggung jawab atas setiap pertajaman polarisasi karena berbagai sosial media tersebut malakukan targeting ads yang satu paket dengan personalisasi konten.
Targeting ads dan personalisasi konten ini menyebabkan "buble world" atau "simulacra" bagi pengguna medsos yang dampaknya di real life/lapangan adalah polarisasi juga hoax. Masyarakat dunia tidak lebih guyub seperti yang dikatakan Mark Zuckerberg tapi ternyata sebaliknya, masyarakat dunia jadi lebih saling membenci satu sama lain.
Data pribadi dalam jumlah yang banyak (big data) memang memiliki kekuatan yang luar biasa dan bisa digunakan untuk banyak sekali kepentingan secara efektif dan akurat.
Dalam hal monopoli perusahaan contohnya adalah Amazon yang menggunakan data pribadi penggunanya untuk menargetkan produk besutan Amazon sendiri kepada pengguna/pembeli daripada produk pengusaha lain di marketplace tersebut.
Sebagai marketplace terbesar bahkan pasar terbesar di dunia dan terus tumbuh maka dengan data dan dana yang dimilikinya mudah saja bagi Bos Amazon Jeff Bezos untuk memonopoli banyak sektor usaha dan membunuh usaha-usaha lain terutama usaha mikro di berbagai belahan negara.
Sedangkan Google yang sudah memonopoli mesin pencari juga mengintervensi hasil mesin pencarinya untuk merekomendasikan situs-situs dan usaha-usaha afiliasinya sendiri di halaman utama dalam hasil pencarian dan menenggelamkan hasil pencarian dari situs-situs dan usaha-usaha pesaingnya seperti kasus dari produk Smart Home Nest dan Vivint.
Facebook dalam hal monopoli untuk saat ini memang masih lebih kepada membeli secara langsung calon pesaing potesialnya seperti Whatsapp dan Instagram, namun sudah sejak lama Facebook ingin mengintegrasikan ketiga aplikasi besar yang dimilikinya ini dan menyedot data pribadi sebanyak mungkin darinya, tujuan besarnya adalah diduga untuk menjadikan tiga aplikasi besar tersebut sebagai suatu kesatuan yang akan menopang proyek ambisius Facebook yaitu Libra yang belakangan disebut "Diem" dan menjadikan Libra/Diem sebagai mainstream mata uang dunia yang berbasis kripto.
Bayangkan setiap iklan di Facebook dan Instagram langsung ditransaksikan produk iklannya lewat Whatsapp dan pembayarannya direkomendasikan memakai mata uang buatan Facebook sendiri. Bayangkan skala transaksi yang bisa dicapai oleh perusahaan teknologi dengan pengguna terbanyak di dunia ini.
Apakah Facebook ingin merebut monopoli penerbitan mata uang dari para bankir? Rasanya futuristik sekali bahkan mungkin utopis, rencana peluncuran Libra saja langsung diprotes dan ditentang para bankir juga politisi di berbagai negara.
Walaupun begitu yang perlu dicatat adalah bahwa dalam era big data nanti orang yang paling kuat adalah orang yang memiliki data terutama data pribadi yang paling besar dan paling banyak. Untuk saat ini orang tersebut adalah Mark Zuckerberg dan Mark Zuckerberg masih belum kenyang dengan big data yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H