Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu (Cerber Bagian Kesepuluh "Tersesat")

29 Juli 2015   10:36 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:51 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Antrian bergerak seperti siput. Sekian jam berselang, truk sudah berjalan di atas aspal menuju kota Jakarta. Sekitar satu kilometer menuju sebuah pintu tol, mereka dihambat antrian panjang. Kabar yang berhembus dari depan, ada truk box bertabrakan dengan sedan. Mungkin butuh waktu lama hingga jalan kembali lancar.

“Ada terus masalah!” keluh Lobe. “Tubuhku sudah pegal ingin dipijat.”

“Kau ini, Be, be! Sabar saja dulu. Kau gantikanlah aku menyetir truk ini! Aku juga capek.” Sujak pindah ke jok belakang. Lobe mengumpat. Namun dia tetap mengambil posisi di belakang kemudi.

“Masih lamakah jalan yang macet ini, Kyai?” Kecik mengusap wajahnya yang mulai legam dipanggang matahari.

“Mungkin sampai belasan jam lagi!” gerutu Lobe sambil memukul kemudi.

“Sabar saja!” Kyai mengusap lengan anak di sebelahnya.

Dua jam lebih, tak ada tanda-tanda antrian panjang bakalan bergerak. Perut mereka mulai keroncongan. Dan bukan persoalan mudah mendapatkan warung makan, apalagi yang namanya restoran. Rumah-rumah penduduk lumayan jauh dari jalan besar.

“Kau lihat rumah yang bercat kuning itu, Kecik?” Sujak merogoh kantong celananya. “Dulu aku pernah makan di situ. Tepatnya di sebelah rumah itu ada warung makan. Biarpan tak berlauk lezat, namun bisalah membantu mengenyangkan perut yang keroncongan ini. Belilah empat bungkus. Lauk apa saja, terserah.”

“Tapi bagaimana kalau Kecik nyasar?” Kyai protes.

“Kau ingatlah baik-baik cat truk ini. Kau ingat nomor platnya. Paham? Apa kau takut ke sana?” Sujak seolah mengejek.

Anak itu tak mau ditantang, apalagi dengan nada seperti mengejek. Dia lekas mengambil uang di genggaman Sujak, dan turun dari kabin truk. Pagar pembatas jalan tol dengan rimbun perdu di seberangnya, dilompati anak itu. Kemudian dia menuruni tebing yang lumayan curam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun