Ke Jakarta
-2-
Di perbatasan kampung dan jalan lintas provinsi, Kecik menunggu terkantuk-kantuk. Tadi sudah sempat dua kali dia tertidur lelap. Dan sekarang dia tak pasti apakah iring-iringan truk sudah lewat atau belum.
Dia sedih. Andaikata iring-iringan truk sudah lewat, berarti pupus sudah harapannya bertualang ke Jakarta. Apakah kemudian dia harus pulang menemui Lila dan si brengsek Boy? Oh, tidak! Pantang baginya menjilat ludah sendiri. Sekali meninggalkan rumah, tak boleh menoleh lagi, kecuali kelak berhasil di negeri orang dan pulang membawa nama yang harum.
Lebih baik dia menunggu bis yang menuju Jambi saja. Dia memiliki uang seribuan segumpal. Memang tak cukup untuk ongkos. Tapi kalau sudah tiba di Jambi, tak mungkin awak bis mengantarkannya lagi ke kampung. Paling dia dihadiahi sumpah-serapah atau tendangan di pantat. Kalau pun akhirnya dia terjebak tak mempunyai ongkos cukup, mudah-mudahan itu terjadi setelah sekian puluh kilometer dari kampung. Atau menjelang fajar.
Dulu saat dia dan ibunya hendak ke Lampung, dan mereka menyetop bis persis tengah malam, awak bis tak menagih ongkos. Dia baru menagihnya sewaktu fajar. Mungkin tak enak mengganggu penumpang lain yang tidur, atau dia tak mau salah menghitung uang di tengah suasana yang gelap.
Kecik memutuskan berjalan sekitar duapuluh atau tigapuluh langkah yang berlawanan arah dengan arah ke Jakarta, sekadar meregangkan kaki. Mudah-mudahan saja ada bis yang lewat menuju Jambi. Kecik pernah mendengar cerita ibunya bahwa masih ada dua orang keluarga dari pihak ibunya yang tinggal di Jambi. Tentu kalau Kecik sudah tiba di sana, mudah-mudahan Tuhan mempertemukan mereka.
Tapi lamat derum mobil dari arah kampung, membuat Kecik berhenti di langkah kesepuluh. Dia melihat berpasang-pasang sinar lampu timbul-tenggelam di antara kebun karet. Tak salah lagi, itu rombongan Kyai Ali!
Dia memasang tatapan awas begitu truk yang pertama meraung-raung melalui tanjakan yang tersambung dengan jalan lintas provinsi. Ah, nomor berapa tadi plat mobilnya? Kecik lupa. Matanya berkunang-kunang disergap sinar yang terang itu. Beruntunglah teriakan memanggil namanya, menjawab segala kecemasan. Sebuah truk melambat. Pintu kabin terbuka. Sial! Kecik sudah menjauh sepuluh langkah dari posisi yang diperintahkan Kyai Ali. Meskipun sepuluh langkah tapi itu mengurangi kecepatannya mencapai truk itu.
Kecik berlari sekencang-kencangnya. Dia meraih sebelah tangan yang menjuntai di sela pintu truk. Dipegangnya erat-erat sambil menyentakkan badan naik ke atas. Tapi karena gugup, kakinya terpeleset di tangga kabin. Untung saja tangan itu sigap menarik tubuh kurusnya masuk ke dalam.
“Siapa dia!” suara Sujak menggelegar.