"Saya cinta kamu?" Â potongnya. "Patut dipikirkan."
Dan kami tertawa. Para pelanggan menatap tak senang. Saya merasa bersalah. Mince tak perduli. Dia malahan mencangkung. "Biar yang masuk mudah keluar," katanya.
"Ini bukan kakus!"
Dia tertawa. Saya garuk-garuk kepala. Saya tak bisa memarahinya. Dia sangat cantik menurut saya, meski berkesan norak. Dia tiba-tiba mengatakan minumannya seperti sampah. Saya pun meminta kopi tubruk kepunyaan satpam. Sebentar saja kami sudah seperti di area persawahan. Segar dan memesona. Kopi tubruk itu memang ciamik. Lebih ciamik lagi ketika dia pulang, tiga keranjang telor bebek yang manis-manis, membuat saya tersenyum puas. Ayah pasti bangga melihat telor-telor itu. Kelak dia akan mendapat sanjungan dari pelanggan jamu, karena hasil jamu buatan Ayah bisa menembus dinding. Sebenarnya cuma candaan. Ayah pasti beralasan semua itu hasil telor Mince. Eh, maaf, Mince tidak bertelor. Maksud saya, telor bebek milik Mince. Nah, ini sudah sesuai kaedah KBBI.
Hampir sebulan transaksi lancar, baik itu transaksi berupa materi, yaitu uang. Juga transaksi berupa nurani berupa cinta. Dan Mince sepertinya mulai cinta kepada saya. Sebaliknya si bos mulai benci. Hasilnya dia memanggil saya ke ruang kerjanya. Dia mempersilahkan saya duduk. Tanpa banyak bicara, dia mengeluarkan selembar kertas dari laci meja dengan kepala surat  bertuliskan; Surat Peringatan Pertama. Saya malas membacanya.  Dia kemudian mengeluarkan lembar berikutnya; Surat Peringatan Kedua. Saya tak banyak bicara. Begitu dia mengeluarkan lembar ketiga, saya langsung lemas. Apalagi  si bos meletakkan amplop sedikit tebal. Nah, punah! Keringat dingin membanjiri kening saya melihat lembar ketiga, dan sepertinya yang terakhir. Surat Peringatan Ketiga dan Terakhir. Begitu bunyinya.
"Kau dipecat?" Ayah kelihatan terkejut. "Kenapa?" Saya tak mungkin mengatakan karena Mince. Tapi Ayah tak ingin memperpanjang pembicaraan. Cairan obat pahit sudah meletup-letup, mesti diangkat segera.
Saya pun menemui Mince. Peternakan bebeknya lumayan besar. Saya mengatakan telah dipecat dari kafe itu. Dia hanya tertawa. Dia kemudian mengusulkan bagaimana kalau saya membuka kafe di dekat peternakan bebeknya.
"Namanya Kafe Bebek!" Dia menepuk bahu saya.
"Apakah itu tak mustahil?"
Saya bimbang. Mince menepiskan tangan. Katanya setiap usaha harus dicoba. Maka dengan setengah hati, Â saya berjualan di dekat peternakan bebek itu. Saya hanya berani memberi nama usaha jualan kopi itu dengan nama Kedai Kopi Amar. Amar itu nama saya. Jujur, Kafe bebek itu tentu saja tidak memiliki nilai jual.
Hasilnya sebulan aku tertatih dan kedaiku hampir bangkrut. Tapi Mince itu agak kurang waras. Dia memodali usaha saya. Sebuah kafe berdinding setengah tepas dan setengahnya plong untuk arus angin keluar masuk, berdirilah di dekat peternakan bebek itu. Dia memasang plang besar bertuliskan Kafe Bebek.