Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badai di Tengah Laut

9 Oktober 2019   16:34 Diperbarui: 9 Oktober 2019   16:47 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Badai berpusing. Air hujan seakan ditumpahkan dari langit. Layar sudah digulung agar kami tidak terlempar jauh ke tengah laut. Pipi Laode berdarah. Sebagian ikan tangkapan terpaksa dibuang ke laut. Tapi tetap saja lidah ombak hampir masuk ke dalam perahu.

Sedari tadi Isman  masih mematung setelah berhasil diselamatkan dari laut, asbab tubuhnya terlempar dan sempat ditelan ombak. Dia menggumamkan nama Asop, anaknya yang berusia seminggu.

Aku merasa bersalah. Seharusnya dia kucegah ikut  melaut. Asop masih terlalu kecil, dan istrinya pasti lemah untuk ditinggalkan. Tapi dia bersikeras ikut bersamaku dan Laode. Tak perduli dari kabar mulut ke mulut, laut sedang suka mengamuk. Bagaimana kalau kami tewas diterjang ombak yang menggila.

"Hutang lahiran Bedah banyak, Bang!" Dia tetap ngotot. Selalu saja kalau mendengar kata hutang, aku langsung lemas.

Mungkin andai aku yang mati, anak-anakku sudah menikah semua. Aku tak terlalu banyak meninggalkan beban. Sedih kutinggalkan pun hanya sebentar dua. Laode itu sebatang kara, masih lajang. Siapa yang akan menangisinya, kecuali  Imah, pedagang sayur keliling ini.

"Ombak semakin gila! Bagaimana ini?" teriak Laode mengalahkan geram laut.

"Aku bingung! Bagaimana mau pulang ke pantai? Aku sama sekali buta arah," ucapku gemetar sambil mencoba menghidupkan sigaret. Tapi bagaimana untuk menghidupkan sigaret dalam keadaan kuyup begini? Semuanya lembab. Sigaret langsung kubuang ke laut. Ombak lekas menjilatnya.

Jujur, seumur-umur aku belum pernah melihat laut sepengamuk begini. Dulu laut sangat adem, bersahabat. Dia selalu memuntahkan ikan yang banyak ke lambung perahu. Hampir setiap hari perahu terseok-seok menyisir jalan pulang.

"Bang Barda! Buritan bocor!" Isman berteriak seraya mengambil sarung. Cepat-cepat kami bertiga menahan air laut agar tidak masuk ke dalam perahu. Saat itulah petir menggelegar. Kami terkejut ketika melihat benda menggunduk hitam tiga meter di depan kami..

"Awas karang!" teriakku. Kami mendayung perahu menjauhinya. Tapi hempasan ombak  akhirnya membutakan. Ada suara retakan dahsyat seiring aku terlempar dari badan perahu.  Begitu cepat ombak mengantarkan air laut ke lambung ini. Aku megap-megap. Bayangan cahaya memenuhi batok kepala. Kemudian hening.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun