Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Ruang Tunggu Keberangkatan

8 Oktober 2019   12:24 Diperbarui: 25 Oktober 2019   20:49 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dan tiba-tiba dia memelukmu.” Pipi perempuan di sebelahku langsung bersemu merah. Dia sungguh bertambah menawan. Beberapa kali desir halus menjalariku ketika kulit kami bersinggungan. “Eh, ternyata Bondan hanya pura-pura. Dia mendapat  rejeki nomplok memeluk putri  kahyangan yang bohay.”

“Ah, Mas Yon bisa aja!” Dia memukul pelan bahuku persis seperti dulu kami akan melakukannya saat di peraduan.

Kenapa tiba-tiba aku ingin memeluknya? Seandainya dulu aku lebih mengalah, tentu akibatnya tak sampai begini. Aku masih ada pendamping secantik dia. Aku memiliki tempat curhat yang menggoda. 

Mungkin kami juga bisa mengusahakan program bayi tabung. Ah, bahagianya! Sekarang aku sangat kesepian. Sendirian di kantor. Pulang ke rumah yang besar hanya mendapati kasur yang dingin. Aku sunyi. Sepi. Seandainya…. Tapi siapa tahu dia juga masih ngejomblo. Mungkinkah?

“Anak-anakmu sekarang sudah berapa?”
“Anak-anakku? Hahaha. Sejak kita berpisah, aku tetap sendirian. Kamu yang enak, sudah memiliki istri. Pasti lebih cantik dan perhatian dari aku.”

“Tapi aku….” Haruskah aku mengatakan masih ngejomblo?
Tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa pesawat kami sudah mendarat. Pesawat akan take off  sekitar setengah jam lagi.

Apakah ini tidak terlalu cepat? Aku tidak ingin kebersamaan ini lenyap. Tapi kami harus cepat-cepat menghabiskan juadah  kalau tak ingin ketinggalan pesawat. Setelah membayar juadah itu, aku  buru-buru mengejarnya yang bergegas duluan. Kami tak bisa lagi berbasa-basi. Aku mengumpat pesawat yang tiba sebelum waktunya.

Aku berharap kami duduk berdekatan. Ternyata dia duduk di bagian paling depan, sementara aku paling belakang.

Tiba-tiba aku berpikir bagaimana jika kami menikah lagi? Tentu kami bisa terus bersama sampai kakek –nenek. Tapi, mungkinkah? Masing-masing kami kan belum pernah menikah lagi setelah perpisahan itu? Aku menepok jidat karena kesal.

“Kenapa, Mas?” Seseorang di sebelahku bertanya.

“Oh, tidak apa-apa? Banyak nyamuk,” jawabku. Orang itu menggeleng-geleng mendengar alasan yang asal-asalan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun