“Dan tiba-tiba dia memelukmu.” Pipi perempuan di sebelahku langsung bersemu merah. Dia sungguh bertambah menawan. Beberapa kali desir halus menjalariku ketika kulit kami bersinggungan. “Eh, ternyata Bondan hanya pura-pura. Dia mendapat rejeki nomplok memeluk putri kahyangan yang bohay.”
“Ah, Mas Yon bisa aja!” Dia memukul pelan bahuku persis seperti dulu kami akan melakukannya saat di peraduan.
Kenapa tiba-tiba aku ingin memeluknya? Seandainya dulu aku lebih mengalah, tentu akibatnya tak sampai begini. Aku masih ada pendamping secantik dia. Aku memiliki tempat curhat yang menggoda.
Mungkin kami juga bisa mengusahakan program bayi tabung. Ah, bahagianya! Sekarang aku sangat kesepian. Sendirian di kantor. Pulang ke rumah yang besar hanya mendapati kasur yang dingin. Aku sunyi. Sepi. Seandainya…. Tapi siapa tahu dia juga masih ngejomblo. Mungkinkah?
“Anak-anakmu sekarang sudah berapa?”
“Anak-anakku? Hahaha. Sejak kita berpisah, aku tetap sendirian. Kamu yang enak, sudah memiliki istri. Pasti lebih cantik dan perhatian dari aku.”
“Tapi aku….” Haruskah aku mengatakan masih ngejomblo?
Tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa pesawat kami sudah mendarat. Pesawat akan take off sekitar setengah jam lagi.
Apakah ini tidak terlalu cepat? Aku tidak ingin kebersamaan ini lenyap. Tapi kami harus cepat-cepat menghabiskan juadah kalau tak ingin ketinggalan pesawat. Setelah membayar juadah itu, aku buru-buru mengejarnya yang bergegas duluan. Kami tak bisa lagi berbasa-basi. Aku mengumpat pesawat yang tiba sebelum waktunya.
Aku berharap kami duduk berdekatan. Ternyata dia duduk di bagian paling depan, sementara aku paling belakang.
Tiba-tiba aku berpikir bagaimana jika kami menikah lagi? Tentu kami bisa terus bersama sampai kakek –nenek. Tapi, mungkinkah? Masing-masing kami kan belum pernah menikah lagi setelah perpisahan itu? Aku menepok jidat karena kesal.
“Kenapa, Mas?” Seseorang di sebelahku bertanya.
“Oh, tidak apa-apa? Banyak nyamuk,” jawabku. Orang itu menggeleng-geleng mendengar alasan yang asal-asalan itu.