“Sendiri?”
Aku merasa terganggu. Lagi pula tak enak dilihat orang lain, masa’ perempuan---apalagi secantik dia---kutanggapi acuh tak acuh? Novel kumasukkan ke dalam tas ransel.
Mengeluarkan sebungkus sigaret dari kantong celana. Tapi kembali memasukkannya karena menyadari di sini tak boleh merokok. Kaki pun kusilangkan seperti sedang membangun benteng.
“Ya, istri tak ikut.” Aku mulai berbohong. Sebenarnya aku masih jomblo setelah berpisah dengannya. Ini semata-mata kulakukan karena tak ingin kalah seangka darinya. Bisa saja dia sudah menikah dengan lelaki super kaya. Ya, bisa jadi! Bisa jadi dia sudah memiliki bocah imut. Ya, bisa jadi! Apa jadinya bila aku jujur masih menjomblo? Tentu saja dia merasa di atas angin.
“Bagaimana bisnisnya?”
Aku menggaruk telinga. “Alhamdulillah lebih maju. Kamu?”
“Aku banting stir menjadi pemilik beberapa butik. Kerjaannya lebih santai.” Dia menyilangkan kaki, dan aku menselonjorkan. Telapak tangan kusulingkan di tengkuk. Gaya yang amat santai. Tapi ini boleh dilakukan di rumah, bukan di tengah keramaian.
Begitu terdengar pemberitahuan pesawat kami baru tiba di bandara tiga jam lagi, aku kembali duduk seperti semula. Tiga jam dalam posisi menunggu, pastilah sangat menguras emosi. Lebih baik aku bersantai di sebuah gerai sambil minum secangkir kopi dan setangkup roti berasa kopi---semoga ada.
Tapi tanpa mengajaknya, apakah itu sopan? Seandainya dia seorang sahabat lelakiku, tanpa mengajaknya mengopi---kendati cuma basa-basi---itu artinya aku kurang bergaul. Apalagi dia itu perempuan cantik, apa kata dunia? Eh, sebentar! Aku sudah dua kali mengatakan cantik. Aku harus menghapusnya buru-buru, sebelum benar-benar tersimpan di memori.
“Jalan, yok!” Aku akhirnya mengajaknya dengan suara bergetar.
“Ke mana?”
“Ke mana saja!” Aku tersenyum sambil memanggul tas ransel. “Ke mana lagi kalau bukan mencari gerai yang cocok untuk ngopi,” lanjutku.
“Duluanlah! Aku di sini saja.”
“Yakin…. Sanggup tahan menunggu sampai tiga jam?”