Kami dipertemukan pada suatu masa dan suatu tempat. Duduk berhadapan tanpa sengaja di ruang tunggu keberangkatan pesawat. Hujan benar-benar deras. Dinding kaca berkabut. Ada serpihan daun diterbangkan badai entah darimana, bermain-main di dinding kaca itu.
Aku berusaha menenggelamkan diri dalam novel trilogi menyeramkan itu. Tapi, tetap saja kehadirannya yang tiba-tiba, tak kalah menyeramkan bagiku.
Mengapa aku memutuskan senja ini berangkat ke ibu kota? Aku merutuki kenapa pesawat bercorak merah itu selalu delay? Seandainya tak delay--bisa jadi kami satu pesawat—tapi tak mesti berhadap-hadapan begini. Hampir lima tahun tak bersua, aku merasa asing dengannya. Tubuhnya lebih semampai. Gelambir di perutnya tak ada lagi. Dia berkaca mata, sehingga terlihat elegan.
Dia seperti pura-pura membetulkan resleting tas. Begitu pun, kami tak dapat mengelak. Mata kami akhirnya berbenturan. Tatap kami seakan saling berbicara.
Dulu sekali, kami memang sepasang merpati yang bersumpah tak akan pernah ingkar janji. Dalam mahligai bernama rumah tangga, kami hampir dua puluh jam berkeliaran di dunia bisnis. Waktu yang sempit selama empat jam, kami habiskan di tempat tidur. Berbincang semenit-dua, lalu terlena dengan dengkur keras melebihi gergaji membelah kayu.
Paling tidak hanya dua minggu dalam setahun kami bisa berlibur. Kendati tetap saja kami tak bisa bermanja-manja, selain memilih tidur seperti makhluk yang berhibernasi.
Mungkin inilah penyebab sampai usia pernikahan kami menginjak sembilan tahun, tangisan seorang bayi tak pernah menyambangi rumah. Kami seolah makhluk asing yang dipertemukan dalam sebuah halte.
Masa pacaran dulu, aku akui kami bagaikan sendok dan garpu. Ke mana-mana selalu bersama. Ketika menikah dengan kenyataan masing-masing menjadi bos di perusahaan berbeda, kami seakan tak saling kenal. Kami jenuh bersama. Ketakhadiran bayi semakin memperparah. Satu tahun kemudian kami berpisah dengan alasan klise, berbeda prinsip.
Sungguh, jarak kami yang hanya satu setengah meter, membuat rikuh. Ternyata dia akhirnya tak tahan. Dia memulai dengan deheman, kemudian bertanya, “Mau ke mana, Mas Yon?”
“Ke Jakarta!” jawab saya ketus dan dingin. Di kepalaku masih terbayang sikapnya yang mau menguasai rumah tangga. Padahal mungkin saja pikiran picikku yang bekerja. Penghasilannya memang lebih besar dua kali lipat dariku.