Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tua

28 September 2019   22:28 Diperbarui: 28 September 2019   22:46 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Suara langkah kaki itu semakin keras. Ramai. Ada cekikikan. Ada bentakan kesal. Saya amat menikmatinya. Tidak seperti puluhan tahun lalu, suara itu amat mengganggu. Saya terpaksa menghentikan pekerjaan menumpuk di dapur. Mengambil kopel Sarjun. Lalu menuju lantai dua. Suara itu pun berganti memohon; ampun, Ma. Kami tidak akan ribut lagi.

Kali ini hati saya girang mendengar suara itu. Kopel yang sudah lusuh, dan amat longgar bagi pinggang pemiliknya, saya ambil sangat pelan. Saya takut gerakan saya didengar anak-anak. Tentu sekejap saja keriuhan yang saya rindukan lenyap. Biarlah anak-anak itu ketakutan melihat kopel yang  saya gamangkan. Saya tertatih menaiki tangga ke lantai dua.

"Mau ke mana, Helena?" Suara Sarjun menghentikan saya pada tangga yang pertama.

"Mau melihat anak-anak. Saya akan menakuti mereka."

"Apakah kau sudah bangun apa masih bermimpi? Duduklah di sini. Hahaha." Dia tertawa melihat tingkah Mr. Bean di layar kaca. Di menepuk-nepuk paha sampai keluar mata.

Saya sedih sekali. Ternyata saya sedang mengkhayal. Di lantai dua tak ada siapa-siapa. Bimo ada di Amerika. Hampir lima tahun dia tak pulang-pulang. Istrinya memang orang sana. Pingkan ikut suaminya di Papua. Satu kali dua tahun mereka baru bisa pulang saat Ramadhan. Sedangkan si kembar centil Lilo dan Lila di... Ingatan saya terganggu. Saya duduk di sebelah Sarjun. "Lilo dan Lila tinggal di mana sekarang, Pa?" tanya saya. Sarjun mengerutkan kening. Dia berhenti tertawa. 

"Lilo dan Lila sudah meninggal puluhan tahun lalu karena kecelakaan saat akan kemping." Ingatan Sarjun cukup tajam. Saya tersedu. Sarjun menepuk-nepuk punggung tangan saya. Dia memberikan saya sapu tangan. Sejurus kemudian dia tertawa terbahak lagi. Apakah perasaan sensitif lelaki selalu lebih sedikit dari perempuan? Dia ternyata lebih memilih tertawa ketimbang bersedih.

"Bau asap, ya?" Saya mencium ada yang terbakar. Tatapan Sarjun terlihat malu-malu. "Kau merokok, Pa?" Saya amat rewel urusan satu ini. Sarjun tbc akut. Tiap minggu harus pergi terapi. Sekali saja dia menghisap asap sialan itu, saya yakin dia akan rutin batuk nanti  malam. Suaranya melebihi gonggongan anjing. Saya pasti tak akan bisa tidur. Saya yakin besok pagi mata ini ngantuk berat.

"Cuma sehisap-dua, Ma. Saya sangat ingin. Apa kau mau saya mati karena menahan selera?" Alasan satu itu membuat saya hanya bisa mengeluh. Ketika saya melihat rokoknya ditemani secangkir kopi, mulut cerewet ini kambuh lagi. Sama seperti tadi, Sarjun tetap dengan alasan sama.

"Jangan sampai saya memberitahu Susi, ya!" ancam saya. Susi itu seorang perawat yang digaji Bimo mengantar-jemput Sarjun terapi di rumah sakit.

"Please, Ma. Jangan beritahu dia. Nanti dokter menambah jenis obat saya. Sudah bosan rasanya minum obat setiap hari. Maag saya sering kambuh karena terlalu banyak obat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun