Semakin siang, tidak hanya ayah yang berpeluh, keringatku bersimbah. Terik sekali matahari di pasar ini. Kami berkeliling dari satu lapak ke lapak lain untuk membeli beragam keperluan dapur. Beberapa kali ayah seperti berdebat agar dapat harga murah. Berangsur-angsur penuhlah beban menggantung di lengannya. Karena terlalu penuh, sebagian berpindah ke lenganku. Tubuhku yang kecil menjadi kepayahan. Tapi aku tak ingin kelihatan lemah di mata ayah.
Saat ayah hendak membeli beras, ada orang bergumul berebut sesuatu di parkiran angkutan desa. Seorang berdarah wajahnya. Seorang bibirnya robek. Untunglah lelaki berseragam bisa melerai mereka. Orang dua itu digelandang entah ke mana.
Seketika harapanku menjadi orang besar itu punah. Haruskah semua diselesaikan dengan bergumul begitu? Aku dan Boston pernah bertengkar karena Boston curang saat main karet gelang. Tapi hanya sebatas bertengkar. Ketika makan siang, aku membaginya seiris rendang. Waktu itu kami makan di rumah pohon.
Aku juga tak ingin lagi ikut ayah ke pasar. Capeknya  minta ampun. Ketika ayah menawari sepatu baru, aku hanya bergumam.  Sepatu baru itu dia beli. Ketika dia menawarkan makan siang, semua yang tak ada di rumahku, ada di etalase warung. Mungkin kalau shubuh tadi aku melihatnya, bukan hanya piring yang pindah ke perutku, juga meja dan kursi. Aku pun makan pelan-pelan dan bersisa. Ayah sampai terheran --heran.
Setelah Shalat Zhuhur berjamaah di masjid, kami pun pulangkah. Ayah membeli dua buah gulali. Satu untukku, satu untuk  Dek Safitri. Kataku, biarlah semua untuk Dek Safitri. Kelak, saat menikmati gulali  di rusuk rumah, setengah bagian Dek Safitri masuk ke perutku. Alasanku karena takut adek kekenyangan. Perutnya bisa meletus. Dek Safitri maklum, dan dia kembali bermain.
"Ck ck ck!" Suara ayah menyuruh Belo cepat. Aku tahu sambil mengemudi kerbau , sesekali ayah melirik heran. Karena aku lebih pendiam dari dini hari tadi. Dia pun berdehem sekali. Aku sengaja tak menoleh. Pura-pura melihat aliran sungai yang berkelok. Berdehem dua kali, aku tak hirau. Mungkin mulutnya pahit tak berbincang dari tadi, maka dia berkata, "Kenapa, To? Sakit mulut, ya? Kok diam terus dari tadi?"
"Aku tak ingin jadi orang besar. Banyak masalah. Enakan jadi anak kecil bebas bermain dan tak musuh-musuhan," keluhku. Ayah terbahak.
"Bagaimana kalau ke pasar pekan depan?" sambungnya.
"Tak juga, Yah. Dua-duanya saya tak mau. Capek! Masih enakan mandi di sungai."
"Ya, sudah. Memang lebih enak jadi anak kecil dan bermain. Tapi kalau sudah besar, kau harus bisa seperti ayah."
Aku tak mendengar lagi suara ayah. Angin semilir membenamkan alam sadarku. O, ya. Cukup sekian sekelimut ceritaku. Kalau ingin bertemu aku, datanglah ke kampung sini. Â Di ujung desalah tinggalku. Di tanah berundak-undak. Di bawah tanah. Carilah nama Ito Sumarsito. Di situlah aku.