Saya duduk di sofa. " Kau kan bos. Jadi apa yang dirasakan jongos seperti saya, tak akan mungkin kau rasakan."
"Wow, jangan asal tebak begitu. Baik bos atau jongos pasti punya masalah sendiri. Ayo, dong! Mana Harlan yang saya kenal dulu? Pria tampan dan bersemangat."
"Sepertinya saya harus mengambil cuti panjang."
"Mau ambil cuti panjang?" Yusran tertawa. "Hati-hati, kelamaan cuti otak kamu bisa beku."
Seorang tukang bakso melintas. Yusran memanggilnya. Dia memesan dua mangkok bakso. Tapi saat mangkok bakso sudah di hadapan kami, saya hanya menonton Yusran makan dengan lahap. Dia berharap saya juga bisa lahap. Tapi, bakso bagian saya akhirnya dibungkus.
Seorang tukang wedang jahe lewat lagi. Seolah perut Yusran terbuat dari karung beras, dia memesan dua gelas. Kembali saya menonton Yusran menghabiskan bagiannya. Bagian saya terpaksa dibungkus.
Dia kasihan kepada saya. Usia masih muda, tapi jiwa saya sudah pensiunan. Dia mengingatkan, saya masih mempunya istri yang cantik. Apakah saya rela menyerahkannya ke pelukan lelaki yang memiliki semangat kuda? Dia menyinggung  anak-anak saya yang masih kecil. Apakah kelak saya tega melihat mereka putus sekolah karena ayah mereka tak gigih mencari nafkah?
"Ingan, Harlan. Orangtuamu telah berhasil mewujudkan anak yang sukses seperti dirimu. Seharusnya kau bertekad mewujudkan anak yang keberhasilannya melebihi dirimu."
Lama dia memberikan wejangan, sehingga saya beberapa kali menguap. Mungkin mengerti gelagat saya, dia akhirnya permisi pulang. Tapi, sebelumnya dia mencari sesuatu di dalam tasnya. Saat dia menemukan kacamata, dia berseri, " Hei, aku ternyata masih mempunyai satu kacamata! Kacamata ini akan mengubah cara pandangmu. Kau akan melihat orang di sekelilingmu sangat bergairah." Lalu dia pergi. Saya kemudian masuk ke dalam rumah. Setelah yakin telah mengunci pintu pagar dan ruang tamu, saya rebahan di atas kasur.
Saya terbangun ketika mendengar seseorang sedang berada di kamar mandi. Hari sudah pagi rupanya. Apakah yang ada di kamar mandi itu istri saya? Kami memang mempunyai dua kunci. Satu untuknya, dan satu untukku. Agar siapa saja yang duluan sampai di rumah, kami tak perlu tunggu-tungguan urusan kunci.
Tiba-tiba aku teringat kacamata pemberian Yusran. Aku iseng-iseng mencobanya. Tak ada yang istimewa dari kacamata ini. Dia seperti kacamata yang biasa saya ditemukan di lapak kaki lima. Tapi, saya seketika takjub saat istri keluar dari kamar mandi. Rambutnya sangat basah. Saya teringat sudah sebulan tak menyentuhnya. Kami pun melakukannya, meskipun dia pada awalnya melemparkan alasan harus tiba di kantor secepatnya.