Dulu ada mitos, apabila burung gagak menyinggahi kampung kami, lalu dia bernyanyi, alamat akan ada yang mati di situ besok hari. Terkadang memang terbukti, tapi lebih sering tidak. Bahayanya, bila burung gagak bernyanyi di bubungan rumah seseorang, dikuatirkan akan ada yang mati di rumah itu besok hari. Ini juga terbukti, tapi tetap saja lebih sering tidak.Â
Ketika saya sudah berkeluarga, lalu tinggal di kampung berbeda, mitos itu pun tak pernah lagi saya dengar. Pengabar kematian bukan lagi mitos burung gagak, tapi seorang tua berusia nyaris tujuh puluh tahun. Orang memanggilnya Pak Barus, karena dia memang berasal dari kota Barus, Tapanuli Tengah.  Setiap kali nyanyi batuknya terdengar di toa masjid pada waktu yang tidak tepat, semisal bukan pagi Jum'at, atau bukan menjelang shalat fardhu, alamat ada yang lewat di kampung kami. Maksud lewat adalah mati. Suara Pak Barus ibarat suara malaikat pencabut nyawa.
Bila dia sedang mengetes toa masjid, seperti kata saya bukan pada waktu yang tepat, setiap orang akan membisu. Yang sedang berbual di warung kopi, berhenti membual. Yang sedang asyik bermain catur, menghentikan pergerakan anak bidak. Bahkan yang sedang kelonan, terpaksa menghentikan kegiatannya.
Siapa kiranya yang dipanggil pagi ini? Kuping dibesarkan, kalau bisa sebesar tampah. Jika yang mati kaum-kerabat, bersimbahlah keringat dan air mata. Jika orang jauh yang mati, Â kembali pula melanjutkan kegiatan yang tertunda.
Terkadang aku berpikir, bagaimana sekiranya Pak Barus yang mati, siapa yang menggantikannya menjadi pengabar kematian?Â
Telah banyak yang coba ditunjuk paksa. Tapi, semua menggeleng tegas. Selain karena upahnya tak ada, menjadi pengabar kematian itu sangat mengerikan. Lebih ngeri dari sekadar bertemu dengan setan.
Pada saat kami sedang bermain remi di halaman rumah Pakde pagi ini, Kirin mengabarkan hal yang mengejutkan.
 "Apa?" tanya kami serempak saat tak yakin kabar yang dibawanya.
"Pak Barus sakit keras."
"Kenapa jadinya? Tentu kita perlu menjenguk Pak Barus, kan?" Â Saya menyeka keringat yang bersimbah. Sudah empat bulan ini kemarau memanggang kampung kami. Ladang-sawah sekarat. Jangankan air parit, air sungai pun kering.
"Kenapa jadinya katamu! Kalau ada orang mati, apa kau mau menjadi pengabar kematian?" Pakde menyikut saya.