Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangis Itu Menumbuhkan Kekuatan

5 September 2019   11:34 Diperbarui: 5 September 2019   11:32 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi yang cerah. Terkadang hari yang cerah tak membuat kita bahagia. Pekerjaan menumpuk di rumah membuat ingin menangis. Perlakuan bos di kantor, membuat kita cengeng. Dosa yang menumpuk, pun tak jarang kita ingin meneteskan air mata.

Saya menangis? Mungkin itu yang terbetik dalam benak kita. No way! Tak ada istilah cengeng dalam hidup. Harus kuat, harus tegar! Pantangan bagi kita bila sampai menangis, apalagi lelaki. Apa kata dunia?

Padahal menangis itu bukan kekalahan. Menangis kelihatan memalukan, tapi memiliki faedah yang membuat kita tercengang. Menangis belum tentu cengeng, dan cengeng belum tentu menangis.

Bahkan kalau kita menyesali dosa yang menumpuk di malam yang hening, di mana orang lain sedang tertidur, sementara kita sedang bersimpuh di atas sajadah, menangis adalah berkah. Menangis adalah menunjukkan sesal yang amat dalam. Menangis menggambarkan hati yang lembut seperti salju. Malahan dengan menangis memohon ampunan kepada Allah, secara tak langsung kita merasakan bisikan bahwa dosa kita telah diampuni dan membuat hati lapang.

Tapi jangan sampai menangis yang kita lakukan hanya dipaksa-paksakan. Menangis harus tulus dari dalam hati. Menangis dipaksakan malah akan menumpuk sesak di dada.

Tak sanggup menghadapi kehidupan berumahtangga yang ngejelimat dengan tumpukan pekerjaan yang ditambah pertengkaran dengan pasangan, juga tingkah bos di kantor yang tak sejalan dengan hati, lepaskan dengan menangis di kamar, atau di toilet. Karena dengan tangisan semua gundah reda. Menangis bukanlah pangkal kelemahan, melainkan menjadi awal kekuatan.

Menangis tak hanya melembutkan hati diri sendiri, juga orang lain. Sepasang suami-istri yang sedang bertengkar, ketika istri terdiam dan menangis, maka emosi suami segera luluh. Sementara suami akan merasa bersalah dan segera meminta maaf. Andaikan suami tak ada reaksi, malahan makin mengoceh tak karuan, dapat disimpulkan bahwa hatinya sudah keras melebihi arca, bahkan rasa cintanya boleh diragukan. Akan hal suami yang menangis, yakinlah rasa bersalah istri akan memuncak. Bahkan bos di kantor yang melihat karyawannya menangis karena perbuatan si bos, akan merasa bersalah dan salah tingkah.

Menangis selalu membuat agak lega. Lega dari persoalan mendera. Anak kecil yang luka, lalu menangis, adalah mengurangi rasa perih yang melanda. Seperti kemarau, menangis adalah hujan yang menyemai kesejukan.

Menangis tak hanya menyehatkan otak dan jiwa, juga raga menjadi sehat terjaga. Menangislah sebelum menangis itu dilarang. Pada saatnya menangis lebih berguna daripada banyak tertawa. 

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun