kau sungguh tak pernah melihat
bagaimana mereka mengulit alam
dengan tangan dicencang
bahu memikul keinginan
dalam persebadan pagi dilarut embun
mereka menyusun kata-kata
di rumpun padi; tumbuhlah, buntinglah
menguninglah
sehingga mereka tertunduk-tunduk
terbongkok-bongkok
mendengar sayup puput memupuk musik
juga tulila alat tiup dari Tano Batak
dalam siat-siut angin yang rapat
serapat mata mereka melihat perempuan
mengandung ransum di kilat wajahnya;
makanlah, makanlah
tapi lekang waktu mengukir canda
menyabit usaha dari keringat dan air mata
menggerobak pedati, menyusu di penggilingan
bersama tawa tengkulak
nah, nah, mereka hanya dipuji dengan keuletan
tanpa tumbal berarti, selain hanya cukup
menukar hutang di kedai bahan pokok
hutang sandang-pangan, termasuk beras
serupa yang mereka kebiri dalam ketersiaan mereka
kaum jelata itu yang memberimu besar tumbuh
anakmu tinggi kukuh
tapi kau tahukah lagu mereka
sebentuk lagu yang tak puas mencintai alam
dari ketergantungannya pada sang miskin
Ujung Kata, 919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H