Saya sebenarnya tidak ingin terlibat dalam  polemik cerita "KKN di Desa Penari".  Tapi semakin ke sini, hati saya terus tergelitik untuk  numpang nimbrung.
Sah-sah saja rasanya setiap penulis menggunakan segala daya upaya agar cerita yang dibuat menjadi viral alias menjadi perbincangan orang. Bahkan kalau bisa dibukukan. Terkabar  cerita viral ini akan dibukukan penerbit "Bukune". Atau apakah akan bernasib baik difilmkan juga? Â
Penulisnya akan tajir melintir. Penulis lain mungkin iri. Termasuk saya. Hanya dengan menulis berantai di twitter, satu cerita saja bisa mendulang pundi-pundi yang tidak sedikit. Wow, amazing!
Tapi seiring "keviralan" cerita ini memasuki dunia pembaca, kita sebenarnya tidak tahu permalahan yang timbul di balik layar. Semacam obat kimia, dia memiliki efek samping, terutama menyerang tiga sisi.
Pertama, sisi penulis. Sekiranya ini bukan kisah nyata, mungkin penulis "KKN di Desa Penari" anteng-anteng saja menanggapinya. Ini menjadi berkah tiada terkira.Tapi, berhubung cerita berasal dari kisah nyata (sengaja dinyatakan), penulis pasti akan mendapat tekanan dari sekeliling, misalnya tentang kebenaran, lokasi, serta tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita ini.
Persoalannya, karena cerita ini hanya cerita orang tentang hantu di desa nganu, tentang si nganu, maka ada kemungkinan opini penulis masuk dalam cerita.Â
Ibarat kata, ketika bergosip, sudah pasti panjang cerita bertambah. Misalnya, ada seseorang bercerita bahwa temannya memiliki ilmu sakti berupa tongkat.Â
Cerita ini mungkin bertambah, bahwa tongkatnya berukuran satu meter. Kemudian di hari lain berkembang kalau tongkat itu berkepala naga, memiliki mata yang bersinar, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi si penulis, tetap menyembunyikan identitasnya. Alasan si penulis ingin tetap low profile dengan tidak gembor-gembor identitas, sebenarnya boleh dibilang pemanis.Â
Persoalan akan timbul ketika pembaca tahu siapa sebenarnya penulis ini. Dia secara tidak langsung akan dimintai pertanggungjawaban tentang kebenaran cerita tersebut. Â Alias gelombang pencarian kebenaran cerita ini semakin santer menyerang penulis.
Kedua, sisi narasumber. Bagi mereka yang menjadi narasumber, ini pastilah menjadi bencana, terutama bagi  narasumber  yang telah menjadi sumber kesekian.Â