Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warungisme yang Kehilangan Isme-nya

31 Agustus 2019   12:41 Diperbarui: 31 Agustus 2019   15:44 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Terkadang kita lupa bercermin, sehingga tak tahu bagaimana merias penampilan. Bukan berarti agar dilihat cantik dan megah, bertabur glamour harta, melainkan murni biar  terlihat nyaman.

Seperti pagi ini, ketika seorang lelaki membeli  sebungkus rokok ke warung tetangga, "Mas, minta rokok sebungkus. Ngutang  dulu, ya."

"Rokok biasa, Pak?" Si tetangga mulai membongkar kotak rokoknya. Selanjutnya mengatakan rokok semacam itu kebetulan habis. Apa yang berkelindan di kepala si bapak yang emosi ingin merokok, pun mungkin sama dengan yang ada di kepala kita. Bahwa si penjual rokok hanya pura-pura  untuk mengantisipasi kata; ngutang dulu.

Si penjual rokok menyarankan rokok merk lain, langsung ditolak. Bapak pembeli rokok kemudian mengganti pakaian, mengambil uang dari lipatan pakaian, meminjam  sepeda motor ke tetangga sebelah, lalu pergi. Pulang-pulang dia  sudah merokok  dengan senyuman yang paling kaya.

Mungkin nukilan cerita ini menjadi kelihatan biasa bagi kita, karena memang terbiasa melihat, bahkan melakukannya. Tetap saja yang bersalah si penjual rokok. Padahal bila kita berusaha bercermin, dan berusaha jujur, sebenarnya si bapak pembeli rokok salah telak.

Pertama, dia sudah tahu bahwa dapur tetangganya itu bisa berasap, mutlak hasil warung, tapi kok masih diutangi? Padahal ketika dikasih tahu rokok tidak ada, dia bisa kok mengeluarkan uang dari lipatan pakaian. Dia juga bisa membayar rokok di mini market. Padahal biar pun satu dus rokok ingin dia utangi (kalau ingin kepala ditumbuhi kentang), bagi pemilik mini market, itu tidak lebih dari sekali duduk sarapan bubur ayam dan pernak-pernik lain di restoran berbintang.

Tentu saja dalam hal ini  saya tidak ingin berpolemik urusan minimarketisme dan warungisme. Saya cuma menyarankan, sah-sah saja tidak ingin berbelanja di warung tetangga (itu hak perorangan, dan tak ada dalil yang mengharuskannya), tapi jangan pula ketika membeli sesuatu di tempat yang nyata-nyata  "no bon", si bapak senang-senang saja, dan tenang-tenang pula terus berutang di warung  senin-kamis milik tetangga.

Kedua, seandainya  dia rela membayar rokok dari warung tetangga, setidaknya dia sudah amat efisien, sebab tidak perlu mengganti baju, semprat-semprot parfum, dan meminjam motor tetangga (tetap menyusahkan karena minyak motor juga harus harus beli). Coba saja kita kalkulasi asal-asalan, yakni dengan membayar sebungkus rokok di warung tetangga, si bapak hanya keluar uang 20 ribu (sesuai harga rokok). Tapi dia bisa jadi dapat bonus bincang-bincang, secangkir kopi, dan mungkin beberapa potong ubi goreng. Tentu saja bonus jangka panjang, yakni  uluran tangan  ikhlas  si tetangga dalam beberapa hal, baik urusan senang-senang, terlebih yang sedih-sedih.

Sementara dengan  membayar sebungkus rokok di mini market, si bapak mungkin keluar uang lebih murah dari 20 ribu, tapi ada biaya  tambahan lain seperti listrik dan sabun cuci (untuk pakaian),  parfum, dan minyak motor (tetangga). Tentu saja bonus "zonk" jangka panjang karena itu murni transaksi.

---0o0---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun