Dua burung gelatik yang sedang kawin di depannya, mungkin jadi pemandangan indah. Ataukah Surai cemburu? Dia melirik saya. Saya bertambah ligat meniup bara agar panas merata, membuat daging menjangan meletut-letup mesra.
***
Malam pekat. Dingin menusuk tulang. Gerimis tipis di luar sana, merapatkan lelap. Saya meringkuk di bawah selimut. Sama sekali tak ingin diganggu hingga besok pagi. Pun oleh Surai.
Tapi, ketukan di pintu membuat saya merutuk. Malas-malasan saya duduk, menendang selimut ke sudut kamar. Orang di luar sana itu kurang ajar benar. Seakan tak perduli waktu istirahat saya.
Saya ogah-ogahan membuka jendela. Ada Hes berdiri di depan pintu. Keningnya bersinar diterpa lampu teras. Pertanda kening itu sangat berkeringat. Raut matanya cemas. Saya berharap dia tak membawa berita mencemaskan tentang harimau yang menyambangi kampung kami sebulan-dua ini. Apa salah binatang itu?
"Harimau itu datang lagi, Mir!" ucapnya mementahkan harapan saya.
Harimau sering masuk kampung, melahap apa saja yang bisa dijadikan pengganjal perut. Ayam Sutan hilang sekandang. Itu ulah harimau. Sapi Matdin yang akan dikurbankan Idul Adha, tulangnya saja tak bersisa. Apakah semua salah harimau?.
Tapi, harimau itu mempunyai alasan berbuat demikian. Ekosistemnya terganggu akibat hutan dibakar, lalu menggantinya dengan kebun sawit sejauh mata memandang. Berulang kali saya ingatkan masyarakat agar tak menjual tanah kepada pendatang.
Hanya saja mereka silau dengan uang, sehingga bisa dibelikan kuda jepang, atau perangkat elektronik berbunyi dentang-dentum. Padahal sebulan- dua seluruh harta benda itu akan terbang.
Selama ini mereka menjadi tuan tanah. Akhirnya mereka menjadi buruh di tanahnya sendiri. Memang ada yang masih beruntung hidupnya karena memelihara ternak.
Tapi, apa tak napas senin-kamis kalau hampir setiap hari mereka mendengar auman yang berarti sebentar lagi kandang ternak akan porak-poranda dan kosong-melompong?