Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Terima Kasih

14 Agustus 2019   09:41 Diperbarui: 14 Agustus 2019   11:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

terima kasih kepada Tuhan yang memberi kami
tanah yang bisa diubah menjadi uang, uang yang bisa
diubah menjadi barang, o, begitu indah melihat hamparan
sajadah hijau, dari utara ke selatan, dari timur ke barat
bilamana pun angin berhembus, tercium bau bunga,
bau getah dan semerbak rasa seperti daun yang basah
setiap kertap embun melumatkan tubuh pada lidahnya
seperti kemudian orang-orang yang mengepak sayap
menari di seputaran rumput dan hutan-hutan
percintaan yang makbul antara alam dan makhluk
persetubuhan yang klimaks ketika pundi-pundi mengenyangkan
wajah-rupa seolah taman yang tak tumbang
telaga tak kering walau hujan terdinding

terima kasih kepada siapa, ketika lukisan dari tangan Tuhan diubah
atas nama kemakmuran, o, begitu banyak berang-berang
tikus-tikus tanah yang menggali lobang
tak ada sajadah hijau yang membentang
o, mercu suar mengarak awan, api, asap menggulingkan
getar embun dan tasbih daun
orang mengubur diri dalam tanah, orang-orang tertawa
dalam sampah, beton-beton, tiang-tiang, menara-menara

para pencakar, lukisan dari tangan Tuhan bukan lagi tanah, bukan hutan
bukan wangi yang dijaga selama sejarah
semua serapah mengaum, meraung, melolong dalam angin
yang nestapa

o, lukisan-lukisan
o, sejarah tanah yang dermawan
kami telah merebus segala dalam panci kepongahan
panci-panci siap saji seperti saat bersantap di meja restoran
bersendawa dengan seluruh pernak-pernik kehidupan
hiburan, dan kami masuk,  masuk semakin ke dalam
dalam kancah pertikaian

o, tak ada lagi tertawa dalam lumrah, senyum yang terarah
semua tipu-daya, di atas luka kami tertawa
di atas rupa-rupa kami merasa jumawa
terima kasih kepada siapa, selain kepada Tuhan
atas setiap dusta tentang penunjukan sebagai tuan
dari alam yang berubah sebagai wujud monopoli
kekuatan masa depan kemunafikan

Ujung Kata, 819

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun