Benarlah saja, tak seorang gadis yang melirik takjub kepada Ja Limbat. Tetangga Wak Dahler yang seorang gadis tua saja, berpaling. Agak sakit hati juga Ja Limbat. Tapi agak saja. Cuma seujung kuku jari.
Karena malam harinya dia sudah tertawa-tawa di tengah sawah bersama Wak Dahler. Apalagi kalau bukan mencari belut. Persiapan untuk ke sawah, melayanglah uang setengah gepok pemberian ayahnya. Rokok tiga slof, entah siapa saja yang mau menghisap. Gulai ayam tiga rantang. Nasi tiga rantang. Sambal tumis satu rantang. Gulai ikan gurame satu rantang. Dan uang saku untuk Wak Dahler. "Mau mencari belut apa mau pesta?" sindir Wak Dahler.
"Mau mencari belutlah! Ayo, kita berburu, Wak." Ja Limbat melompat ke sawah. Wak Dahler hanya menggeleng-geleng. Katanya mau mencari gadis untuk diperistri, eh, malahan mencari belut.
Besok paginya, Ja Limbat permisi kepada Wak Dahler. Tujuannya mau ke rumah Wak Ja Sutan. Maksud hati memancing gadis, Ja Limbat memilih memancing ikan. Memang dari pagi hingga senja, hanya beberapa ekor ikan yang didapat. Tapi, pulang ke rumah Wak Ja Sutan, biar kelihatan hebat, uang setengah gepok itu habis untuk membeli ikan, membeli daging, membeli rokok dan bahan pangan lainnya.
Satu hari berlalu, Ja Limbat pulang ke rumah. Tak jadi dia ke rumah Wak Ja Sukat. Uang tinggal sepertiga gepok. Yang penting, biar pun anak gadis belum dapat, uang pemberian Ja Sulaiman masih bersisa. Dan lihatlah wajah sumringah Ja Sulaiman di pintu rumah, menyambut kedatangan Ja Limbat. Dipikirnya sudah berhasil Ja Limbat beroleh gadis. Jadilah bulan depan Ja Sulaiman menggelar pesta pernihakan. Setahun lagi, dia akan memomong cucu.
"Ha, masuk Ja Limbat. Duduk, Duduk."Dia memanggil Bik Misna untuk menyiapkan dua gelas kopi susu. "Dapatnya kau anak gadis itu? Cantiknya dia?" lanjut Ja Sulaiman.
Ja Limbat menggeleng lesu. "Tidak dapat anak gadisnya, Ayah. Ada pun anak gadis, masih kecil-kecil."
Keruh sudah wajah Ja Sulaiman. "Lalu, kenapa kau plester-plester hidung kau?"
"Kata ayah, kalau aku tak mendapatkan calon istri, aku tak boleh menunjukkan batang hidung di sini. Jadi, kuplesterlah hidungku biar tak kelihatan. Tapi, ayah tak pernah menyebutkan kalau jangan menunjukkan batang kaki kalau tak mendapatkan calon istri. Jadi, kuturutilah kakiku pulang ke mari."
"Ah, banyak cakap kau! Banyak pula alasan kau! Kau tak mau menikah dan membujang selamanya? Kau ingin aku tak sempat memomong cucu?" Ja Sulaiman berang bukan main.
"Inilah yang kupikrkan, Ayah. Sebenarnya, adanya anak gadis yang mau sama aku." Agak berbohong kawan ini.