"Dua-duanya?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku membuang pandang karena mataku berkaca-kaca.
Betapa berat hidup yang dialami perempuan itu, bahkan jutaan perempuan lain. Ketika dulu sudah bersusah-susah mengandung, menyapih, membesarkan, mengawinkan anak, kapan lagi dia bisa menikmati hidup di ujung rentanya. Hidup berkalung ibadah, sebelum tangan maut mencerabut nikmat di dunia.
Apa yang engkau cari hai anak sibiran tulang? Harta dunia? Tak ada artinya semua itu. Harta dunia engkau kejar, sementara harta dunia dan akhirat kau tinggalkan, kau buat susah hidupnya, kau buat susah hatinya. Dia memang tersenyum menjalani semua yang engkau pintakan, tapi dalam hatinya engkau tak tahu.
Pada doanya, engkau bisa sukses. Pada senyumnya rejeki mengalir. Pada telapak kakinya engkau temukan surga.
Pada umpatnya,engkau bisa hancur. Pada cemberutnya rejeki mampat. Untuk apa engkau bersusah-payah mengejar harta dunia sementara harta dunia dan akhirat ada di depan mata.
Aku melihatnya tersenyum. Tetap tersenyum. Entah sampai kapan. Sampai engkau hanya bisa menatap sedih setelah gundukan tanah itu basah oleh tangis sesal.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H