Apa yang kuharapkan dari seorang suami? Tak ada sama sekali! Hanya sumpah serapah, kata-kata sampah, tendangan dan pukulan seolah diri ini seorang sparing partner-nya  Padahal saat kami berpacaran delapan tahun lalu, dia ibarat pangeran dari negeri kahyangan. Sangat santun, sangat penyayang. Bahkan ketaletanannya menyikapi agama, terus terang membuatku memastikan dia adalah jodoh terbaik untukku. Bagaimanapun untuk menikah dengan seseorang itu, patokan pertama adalah lihat agamanya, baik apa tidak. Hanya saja, satu kekurangan yang dia miliki. Dia bukan berasal dari keluarga kaya apalagi terhormat. Kedua orangtuanya hanya pekerja kasar. Sementara keluargaku, meskipun bukan keluarga terhormat, tapi pedagang yang cukup mumpuni. Itulah yang membuat rumah kami lumayan mewah, dengan dua buah mobil di garasi.
Masa-masa kami berpacaran, pun mendapat tentangan keras dari ibu. Ilham (nama samaran suamiku) sangat tak disukai ibu. Pertama karena dia bukan berasal  dari keluarga terhormat. Kedua dia bukan juga dari keluarga kaya. Ketiga dia tak memiliki pekerjaan tetap. Bagaimana mungkin seorang ibu merelakan putri tercinta menderita dengan calon suami yang sama sekali minus? Meskipun aku sungguh-sungguh menyukai Ilham. Walaupun aku memamerkan betapa dia sangan telaten menyikapi agama.
Berhubung aku dan Ilhman mulai sering bertemu dengan cara kucing-kucingan alias backstreet, ibu akhirnya mengalah. Bahkan ibu kemudian mengakui Ilham  seorang yang taat agama. Selain itu dia tak ingin berdosa menghalang-halangi putrinya, kelak menikah dengan orang ahli agama.
Tak sampai setahun kami berpacaran, pesta pernikahan pun digelar. Ilham benar-benar diboyong keluarga besarku. Artinya seluruh biaya gono-gini, kecuali mahar, mutlak ditanggung ayah-ibu. Ah, betapa bahagianya setelah kami akhirnya bersanding di pelaminan. Tak ada lagi celoteh centil anggota keluarga, juga teman-teman, tentang kapan aku menikah, tentang usiaku yang sudah sangat matang, tentang momongan. Aku tersenyum menatap Ilham yang kelihatan selalu meringis malu.
Kehidupan kami setelah pernikahan, adem ayam saja, bahkan cenderung berbunga. Meskipun tak memiliki pekerjaan tetap, Ilham selalu rajin membantu ayah menjalankan usaha dagang. Sementara karena belum mempunyai kesanggupan materi, kami terpaksa mondok di rumah orangtua.Â
Lagi pula ayah-ibu selalu menahan langkah kami bila ada terbetik omongan tentang rencana mengontrak rumah. Bagaimanapun tak ada lagi anak-anak mereka di rumah, kecuali aku. Dua abang dan kakakku tinggal di kota-kota yang jauh, dan hanya setiap lebaran pulang kembali ke rumah.
Lima tahun usia pernikahan kami, telah hadir dua anak lucu meramaikan kehidupan kami. Di tahun keenam tiba-tiba terjadi hal yang sangat memasygulkan hati. Ayah meninggal karena kecelakaan. Menyusul ibu tiga bulan kemudian. Mungkin karena tak sanggup melawan deraan kesedihan karena ditinggal ayah. Praktis, usaha dagang diambil-alih oleh Ilham, dan dibantu sepenuhnya olehku.
Mungkin tangan Ilham tak seide dengan usaha dagang, atau dia sendiri yang malas-malasan dan tak kreatif, perdagangan yang dirintis ayah dari nol, mengalami kemunduran.Â
Semakin hari semakin sedikit orang yang berbisnis dengan kami. Bahkan di tahun kedua setelah usaha itu dipegang Ilham, ada tanda-tandanya akan bangkrut. Untunglah abangku cepat mengambil-alih kendali, dengan menempatkan adik iparnya sebagai pengelolanya. Sementara Ilham menjabat sebagai karyawan.
Mungkin merasa kesal, suamiku itu berubah menjadi lelaki pemberang. Apa saja masalah yang terjadi---meskipun sangat kecil---bisa dibesarkannya sehingga bisa membakar seisi rumah. Aku habis-habisan dicerca, anak-anak tak bosan-bosan menerima amarahnya.
Dia juga mulai malas-malasan bekerja. Ada-ada saja alasannya. Mulai dari ketaksukaannya terhadap adik ipar abangku yang katanya sok mengatur. Lalu karyawan-karyawan yang menganggapnya bukan siapa-siapa. Sampai masalah penghasilan yang terlalu kecil. Akibatnya dia mulai sering membolos kerja. Alhasil, dia diberhentikan, dan membuat dapur kami tak lagi lancar mengebul.