Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Sindikat Kopi (Bab I)

5 Agustus 2019   22:08 Diperbarui: 5 Agustus 2019   22:41 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay.com

Bagian ke 3

Cerita sebelumnya : 1, 2

Malam mencekam. Jalan Surabaya 5 lebih cepat lengang. Satu-dua mobil menembus gerimis yang mulai rapat. Kafe Neo Raka teronggok sunyi dilingkar garis polisi. Terbaca sesekali lampu di taman depan; Kafe Ne Raka, karena di bagian huruf "o", sesekali lampunya padam. Ada seorang lelaki berjambang---mungkin gelandangan---menyalakan api unggun di depan kafe. Dia ingin menghangatkan jari-jemari tangannya. Mungkin dia ingin menghalau rematik, atau entahlah!

Sebuah mobil jeep hitam berbadan besar, membuatnya ketakutan. Cepat-cepat dia menginjak api unggun. Dia berlari terseok seiring tikus botak melesat ke dalam pipa pembuangan air.

Dua orang berjaket hitam keluar dari dalam mobil jeep itu. Mereka berlari menghindari gerimis, lalu menuju selasar Kafe Neo Raka. Sesaat mereka saling bersitatap. Oh, saya kenal. Mereka adalah Robinson Marpaung dan Abraham Moer.

Moer menyalakan senter, dan masuk ke dalam kafe. Sungguh kacau kondisi  di dalam! Segala perabot terhumbalang. Cerita Moer, dini hari tadi, ada belasan orang yang membuat seisi kafe porak-poranda. Entah mereka keluarga korban yang kesal karena Ketty masih belum ditahan. Atau ada orang yang ingin menyamarkan barang bukti. Moer sendiri masih bingung.

Marpaung jongkok di dekat sebuah meja. Dia melihat sisi-sisinya, juga kursi yang terhumbalang.  Seakan dia bisa mengajak mereka berbincang.

Marpaung menyentuh sesuatu dengan jari telunjuk. Menyicipinya, lalu meludah cepat. Tiba-tiba dia menjentikkan jari tangan, menyuruh Moer mendekat.

"Ada apa, Dan?" Moer ikut berjongkok di sebelah Marpaung.

"Ah, kau ini! Aku hanya purnawirawan."

"Tapi dalam bertugas, abang tetap komandanku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun