Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suami Pengangguran

31 Juli 2019   14:52 Diperbarui: 31 Juli 2019   16:50 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Perkenalanku dengan Fay (nama samaran) lima tahun lalu, diawali dengan persoalan sepele. Hanya karena salah sambung telepon. Tapi telepon-telepon darinya, kemudian berlanjut serupa aliran air. Anehnya, kami menjadi sedemikian akrab. Sementara sekalipun kami tak pernah bersua rupa. Aku santai saja, tak menganggap dia lelaki iseng. Padahal bukan sekali-dua lelaki iseng pura-pura salah sambung ke teleponku. Bukan sekali-dua aku menampik tindak-lanjut mereka ingin mengenalku lebih dekat. Berbeda betul dengan Fay. Suaranya yang kedengaran ramah, membuatku betah berlama-lama memegang telepon, sehingga kerap, usai itu telingaku panas.

Dari telepon-teleponnya yang berlanjut, akhirnya meski sangat memaksa, dia nekad hadir di rumahku. Dia sengaja membawa oleh-oleh sebungkus rujak kesukaanku. Dan ternyata, bless, hatiku resah tak karuan. Fay bukan seperti lelaki yang kubayangkan. Sebelumnya, aku berpikir tubuh Fay tinggi-besar. Berkulit kuning langsat dan parlente. Katakanlah seorang lelaki idaman setiap perempuan.

Nyatanya dia berkulit sedikit gelap. Berambut kribo. Bertubuh pendekar alias pendek-kekar. Begitupun, ketika dia berbincang denganku, seolah kekurangan-kekurangan yang dia miliki berangsur sirna. Jujur, setelah bercerai dengan suamiku hampir limabelas tahun, tak seorang lelaki pun pernah berbincang berdua denganku sampai sedemikian akrab. Aku menganggap rasa cinta ini telah musnah. Aku bertekad menjadi single parent untuk kedua anakku, hingga aku berusia lanjut.

Aku dan Fay pun menjadi sering bertemu. Dia hampir setiap sore menjemputku pulang kantor. Terkadang selepas menjemputku, kami singgah sebentar ke mall, sekedar kongkow-kongkow dan membelikan oleh-oleh untuk anak-anakku. Ya, begitu saja kurasakan hidup sedemikian berwarna. Aku yang sebelumnya tak tahu berdandan manis, mulai senang ke salon. Tanya ini-itu, sehingga penampilanku lebih menarik.

Dari keakraban yang berlarut itulah, akhirnya Fay terus-terang ingin menikahiku. Suatu tindakan nekad dan dadakan. Aku merasa belum siap. Bagaimana memberitahukan kepada anak-anakku bahwa mereka akan memiliki papa baru? Lalu, bagaimana memberitahukan ke orangtuaku tentang rencana Fay menikahiku? Sementara aku hanya mengenal Fay secara utuh. Artinya, aku belum tahu siapa orangtuanya. Apa pekerjaan mereka. Bagaimana kondisi keluarganya, apakah tenteram atau penuh intrik.

Kuanjurkan saja kepada Fay agar bersabar sedikit. Tapi dasar Fay tak bisa diomongi, malahan ngotot. Dia mengatakan ayah-ibunya ada di kampung, dan bekerja sebagai petani. Keluarganya merupakan sosok-sosok yang taat beragama. Meskipun jujur, dia hanya seorang duda yang bercerai dengan istrinya. Tapi dia meyakinkanku bahwa istrinyalah yang membuat banyak kesalahan.

Sungguh aku tak dapat menolak kehendak lelaki yang baru sekian bulan berjalan bersamaku. Lagian, anak-anakku sudah sangat lengket dengannya. Terkadang, anakku yang sulung menggoda, bagaimana kalau Fay menjadi papanya saja.

Begitulah, akhirnya aku mencoba mendekati seorang saudara sepupuku, untuk meminta pendapatnya tentang Fay. Apakah menurutnya Fay cocok menjadi calon suamiku? Atau, haruskah aku dan Fay tetap bersahabat tanpa berkomitmen menikah?

Jawaban dari sepupuku sungguh mengecewakan. Setelah berbincang-bincang dengan Fay, dia berterus-terang tak menyetujui rencana kami menikah. Menurutnya, Fay bukanlah sosok yang cocok disandingkan denganku. Memang Fay ramah. Dia juga bertingkahlaku baik sebagai lelaki setia. Namun omongannya itu yang membuat sepupuku tak ngeh. Fay dicapnya terlalu banyak cerita. Kira-kira pembuallah.

Hanya saja, cinta tetaplah cinta. Cinta membutakan siapa saja, termasuk aku. Ucapan sepupuku kuanggap hanya sebagai batu sandungan. Buktinya ketika aku meminta restu kepada kedua orangtuaku, semua menanggapi dengan baik. Mereka senang akhirnya aku memiliki tambatan hati. Sebab selama ini, kedua orangtuaku kasihan melihatku luluhlantak mengurusi rumah tangga sendirian.

Mengenai pekerjaan Fay, aku sebenarnya tak mengetahui pasti. Dia hanya pernah menceritakan membuka bisnis di kota P bersama kawannya. Selebihnya, aku tak ingin mengorek lebih dalam. Aku takut dia marah, meski selama kami berhubungan dekat, tak sekalipun dia berbicara kasar kepadaku.

Setahun setelah jalan bersama, kami pun menikah dengan perayaan yang sederhana. Otomatis Fay kuboyong ke rumahku. Sebab, Fay sebelumnya hanya mengontrak rumah, sedangkan aku memiliki rumah sendiri hasil menabung bertahun-tahun.

Betapa senangnya hati ini. Ternyata banyak kesulitan hidup terselesaikan dengan mudah setelah berdua Fay. Namun ada satu yang membuatku sangat kasihan kepadanya. Tempat kerja Fay di kota P, yang berjarak hampir seratus kilometer dari rumahku, membuatnya shubuh-shubuh sudah harus berangkat. Menjelang maghrib baru pulang dengan kondisi badan sangat letih. Kusarankan agar dia berhenti saja berbisnis dengan temannya, kemudian mencari pekerjaan yang layak dan tak jauh dari rumahku.

Dia setuju berhenti bekerja. Kemudian mulailah dicarinya pekerjaan yang dekat dengan tempat tinggal kami. Sayang, tentulah tak semudah itu mendapatkannya. Otomatis, Fay menganggurlah di rumah. Otomatis akulah yang menjadi tulang-punggung keluarga.

Kondisi tersebut berlanjut sampai berbulan-bulan. Meski terkadang dia mendapat objekan dari teman-temannya yang berlanjut hanya sehari-dua. Akibatnya, orangtuaku memperotes kondisi ini. Seharusnya Fay-lah yang mati-matian mencari duit. Bukan aku. Karena umumnya, perempuan hanya bertugas mengurusi keluarga, suami biarlah mencakar hidup di luar sana.

Hatiku gundah. Apalagi ibuku mengomentari bahwa Fay seorang pembual. Sebelum menikah denganku, Fay pernah bercerita bahwa dia seorang pengusaha yang memiliki bisnis cukup besar. Bahkan dia berencana menyuruhku berhenti bekerja.  Nyatanya, baru sebulan-dua memperistrikanku, dia sudah menganggur. Akulah yang dijadikan kuda beban.

Sebagai wujud kepedulian kedua orangtuaku, akhirnya mereka menyarankan agar aku membeli mobil pick-up saja. Biarlah Fay menyopir untuk membawa sayur-sayuran dari kampung menuju pasar di kota. Menurut mereka keuntungannya cukup berlipat.

Saran itu kuajukan kepada Fay. Alhamdulillah dia setuju. Motor bututnya dijual, lalu dibantu dengan tabunganku, akhirnya terbelilah sebuah mobil pick-up bekas. Fay berjanji akan memberdayakan mobil itu, sehingga perekonomian keluarga kami terdongkrak.

Janjinya memang terwujud. Angkutan barang-barang berupa sayuran atau hasil tani lainnya, selalu berlimpah, hingga dia tak kekurangan objekan. Sayang sekali, baru dua bulan berselang, tiba-tiba semuanya terhenti. Pertama, karena hasil tani di kampung berkurang. Hujan dan hama membuat banyak petani gagal panen. Kedua, karena para petani mulai pintar. Mereka lebih memilih membeli mobil pick-up sendiri untuk mengangkut hasil tani mereka ke kota ketimbang menyewa. Mungkin biar lebih hemat.

Alhasil, suamiku menganggur lagi. Pikirannya buntu. Dia hanya memiliki rencana segudang, dan cerita yang dibesar-besarkan. Tapi kenyataannya nol besar. Dari situlah aku mulai berpikir bahwa Fay, seperti kata sepupu dan orangtuaku, memang benar seorang lelaki yang banyak omong. Pembual!

Sampai sekarang dia masih menganggur. Aku dibuatnya pusing tujuh-keliling. Mau apa lagi, dia telah menjadi papa anak-anak. Tentu aku harus menerima kondisi ini, hingga nanti dia berkesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak. Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik buat kami semua.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun