Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Pribumi

27 Juli 2019   12:13 Diperbarui: 27 Juli 2019   13:34 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Tuan Marsose mondar-mandir di ruang tamu rumahnya. Bibirnya sesekali dibasahi, entah untuk apa. Beberapa kali mematut di cermin, membetulkan topi, juga tak ada tujuan. Dia sesekali duduk di kursi yang melingkari meja bulat. Memegang bibir cangkir. Melihat jelanak asap kopi yang menguar ditiup angin malam. Sementara suara erangan nyonya besar memenuhi bilik. Ini penungguan yang sakral, setelah lima tahun tak memiliki anak.

Dia berjalan lagi ke arah bilik. Mengintip dari sela pintu. "Belum lagi, Mbok?" Dia memilin kumis karena kesal menunggu.

"Belum lagi, Den Tuan. Ini anaknya manja. Mungkin perempuan, harus bersolek dulu."

Tuan Marsose duduk kembali di kursi. Mengangkat dua kaki. Menggesek-gesek hidung dengan ujung tongkat berlapis perak. Pekerjan paling membosankan yang selama ini dia alami! Melebihi bosan menunggu musuh pribumi di balik benteng. Begini rupanya rasa tegang menunggu kelahiran anak. Beberapa kali Van Hal menelepon bahwa ada urusan genting yang harus dibahas di kantor kepala. Dan Tuan Marsose hanya bisa menjawab, "Tunggulah sebentar!"

Suara bayi kemudian  menutupi erangan nyonya besar yang berakhir desah lega. Tuan Marsose mendekati pintu bilik. Menangkupkan kedua tangan dengan sabar seakan anak kecil menunggu uang jajan dari ibunya, karena lima menit lagi lonceng sekolah berbunyi.

Pintu berderit. Sebuah kepala ubanan muncul di sela pintu yang membuka. Dia perlahan mendongak. Mempertontonkan kulit usia yang memeta wajah. Tapi senyum bahagia itu sama sekali menghilangkan kerut itu. Dia tampak lebih cerah. Lebih muda sepuluh tahun dari usia sekitar tujuh puluh tahun.

"Anak tuan sudah lahir, Den Tuan. Ternyata mbok salah. Dia laki-kaki. Tampan dan gagah seperti..." Ucapan si mbok menggantung. Tuan Marsose melihat si mungil lucu terbalut popok kelabu. Apakah hati Tuan Marsose juga kelabu?

Si mungil itu berkulit gelap, sedangkan dia terang. Matanya hitam, sang ayah biru langit. Rambut Tuan Marsose lurus pirang, si mungil ikal hitam.

Segera wajah tukang kebun menghiasi mata Tuan Marsose.  Pengurus kuda yang hitam, liat dan berotot. Sopir ganteng, dan berkulit hitam manis. Setan! Tuan Marsose memukul kusen pintu. Si mbok menundukkan kepala. Menutup pintu rapat-rapat.

Tuan Marsose ingin berteriak kuat-kuat. Dering telepon mendului. Dia teringat Van Hal. Dia buru-buru menuju mobil dengan hati mengkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun