Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bis Malam

25 Juli 2019   17:26 Diperbarui: 25 Juli 2019   17:41 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Akhirnya bis itu tiba. Segera kutampar pantat celana yang kotor sambil berdiri. Tas ransel kusampirkan di punggung, lalu masuk ke dalam mobil berbadan besar itu. Novel tipis yang kubeli tadi, amat menarik hati. Hanya melihat sampulnya sih. Terpaksa kulanggar pendapat; don't look the book just from the cover.

Setelah menjejalkan tas ransel di bagasi, aku melenggang ke bangku baris kelima dari belakang sopir, sambil menghembuskan napas lega. Perjalanan beberapa hari ini membuatku capek. Berburu sepatu sport yang bagus dan berkualitas, ternyata lumayan menguras tenaga. Tapi, rasa capek itu terbayar, setelah hampir seluruh sepatu sport yang menarik hatiku, telah di-pack dan dikirim ke Panyabungan via darat, melalui sahabat lama yang bekerja di bidang ekspedisi.

Oh, iya. Aku hampir lupa membaca novel tipis itu. Tak sengaja aku menoleh ke samping. Keinginan membaca novel itu musnah sudah. Entah kenapa hari ini aku mendapat durian runtuh. Ada seorang bidadari duduk dan tertidur di sebelahku. Aku merasa dejavu, karena wajah itu pernah beberapa kali hadir dalam mimpiku.

Apakah sekarang aku hanya bermimpi? Apakah ini rejeki anak sholeh? Kukucek mata. Aku berpikir sedang bermimpi. Ternyata ini kenyataan. Kuperhatikan wajah itu lebih lama. Hingga mata itu membuka pelan. Hingga mata itu seperti tertawa.

"Kenapa bapak menatapku seperti itu?" tanyanya dengan senyum geli.

Bapak? Aku meraba wajah. Apakah aku sudah terlihat tua? Kenapa dia tak memanggilku mas atau abang?

"Oh, itu ada belek di matamu," ucapku pelan. Aku harus berterima kasih kepada belek itu, karena telah menyelamatkan rasa maluku.

"Oh, iya!" Dia tertunduk sambil membersihkan matanya. "Maaf, Pak. Aku nggak tahu. Aku nggak sadar bapak ada di sampingku. Tadi malam, aku kebagian shift malam, jadi, masih ngantuk." Dia tersenyum sehingga samar terlihat lesung pipitnya. Semakin cantik saja perempuan itu.

"Kok manggil Bapak? Apakah aku sudah kelihatan tua?" tanyaku. Dia tertawa. Alunan lagu sunda, membuai perempuan itu. Membuat matanya meredup dan semakin meredup. Dia tertidur lagi.

Hawa ac bis yang lumayan kencang, membuatku terpaksa mengenakan jaket. Lalu, sekali lagi melihat perempuan itu. Hentakan bis yang menikung ke kanan, membuat kepala perempuan itu, berangsur menyentuh pundakku. Rasanya semua listrik di dalam tubuhku menyala. Tapi, lagu sunda itu turut juga membuai aku. Membuatku terhanyut.

Selintas wajah seorang perempuan yang sangat lelah, bertarung di dapur, muncul di pelupuk mata. Seorang anak kecil merajuk, ingin dibelikan boneka. Seorang anak kecil yang lebih besar dari yang pertama, menanyakan sepeda. Toko perangkat oleh raga yang ramai. Seorang lelaki mengabarkan bahwa sepatu sportku sudah dikirim. Sebuah dering telepon. Eh, dering telepon. Ternyata dering telepon itu nyata. Segera kuambil hape dari kantong jaket.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun