Mati itu lumrah. Setiap yang hidup pasti akan merasakan mati. Bahkan prosesi untuk yang mati tak terlalu njelimet. Kalau tumbuhan, biarkan saja membusuk dan menyatu tanah. Kalau hewan, gali tanah, kemudian kubur. Bedanya dengan manusia, perlu dimandikan, disalatkan---bagi orang Islam, dikirimkan doa, kemudian menguburkannya di liang yang telah disediakan.Â
Tapi kali ini kematian telah membuat penduduk kampung bingung dan resah. Seorang bandit ditemukan mati. Andai  dia mati di pasar atau kedai judi, urusannya bisa diambil oleh teman sesama bandit. Sekarang ini, bandit itu mati di masjid. Tubuhnya terbujur di atas sajadah tempat biasa imam shalat. Sukarjo, sang nazir masjid, yang menemukannya shubuh tadi.
"Ini tak bisa dibiarkan! Kita mau shalat shubuh. Bagaimana dengan mayat pengganggu ini," keluh Sukarjo.
Marijan, imam masjid, menjawab, "Ya, baiklah kita urus nanti. Sekarang kita shalat shubuh di ujung kanan saja."
Tak seorang pun yang berani mendekat ke mayat itu. Konon kejahatan si bandit sangat menakutkan. Dia pernah membunuh korban rampokannya. Berkali-kali mengganggu anak orang dan sekali mencabulinya. Kalau memalak, tak sekali dua. Berkelahi, tiada terhitung lagi.
Kasak-kusuk usai shalat shubuh, pun menyemak di luar masjid. "Hi, pasti dia berhantu! Kau lihat matanya mendelik atau nggak? Bandit itu arwahnya gentayangan."
"Siapa yang akan memandikan atau menguburkannya? Siapa yang menyalatkannya?"
"Bandit tak usah dimandikan dan disalatkan. Kubur saja, selesai perkara!"
"Apa boleh begitu?"
Sampai matahari meninggi, tak ada tindakan yang berarti dilakukan terhadap mayat itu. Selain tentu saja banyak orang libur kerja. Semua merubung  masjid seperti sekerumun laron. Semua dengan pendapat masing-masing. Bahkan ada yang mengumpat, menyukuri, meludah. Marijan kebingungan. Beberapa jamaah telah diajaknya mengurusi mayat si bandit. Tapi semua ogah.
"Aku pernah dipalaknya!"