tentang memori yang tertinggal
di dermaga
bau amis ikan dan liat buruh angkut
saat lampu-lampu perahu melintas kapal
menunggu tambatan hati berlabuh di pinggir
di antara lambai, deru tangis bersama
pluit panjang itu
terlarut dari prolog basa-basi
dan epilog tanpa penjelasan
bersama selintas nyanyi harmonika
dawai biola melewati lorong-lorong
becek, jalanan yang tak mengerti
pada saat mana harus berpisah
memuluskan masa ketika bertemu
entah di mana, kalau saja dermaga itu masih
anggun menunggu mimpi yang tersusun
dari puzzle wajah yang terserak
dan tak ada lagi suatu cerita
saat jala nelayan dikembang
jaring ditebar, kalau saja dia tersangkut
mengepit cerita usang
di tengah ketiak, sehingga cerita itu
menjadi kebosanan serupa buku
dicetak ulang, tapi melulu dimakan rayap
di perpustakaan yang tak memberi jawab
tentang cerita masa lalu
dan sejarah singkat ketika dia meninggalkanku
di tiang tambatan kapal
waktu itu, yang tak mungkin lekas terlepas
di kanvas, manakala kurias wajahnya tegas
meninggalkanku berharap cemas
sekiranya jatuh dilindas ombak
yang akan membawa kisah terseru gelak
di tempat itu, dia tak tahu penunggu
tentang memori yang tertinggal
hanya buku-buku
duri ikan, juga sumpah serapah sang nakhoda
menelanjangi pelacur pantai
dengan kelasi tanpa suara
mengusirku pergi
melihat satu noktah jauh, kapal membawa cerita
pergi
dari kenangan-kenangan yang pasti tak terkumpul
sampai kapan pun
sampai mana pun
sehingga aku pasrah terpasung sauh kapal
ketika dia memang sebenar berlabuh
Plb, 72019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H