Takdir telah mempertemukanku dengan Edo (nama samaran) sekitar sepuluh tahun lalu. Pertemuan yang menurutku nyaris sempurna. Bagaimana dia adalah sosok lelaki yang memang kuidam-idamkan. Berbadan tinggi besar, dada bidang, rahang yang keras dan kulit kecoklatan. Istilah lazimnya "cowok macho". Terlebih-lebih dia sama sepertiku telah bekerja di perusahaan bonafide, dan berusia cukup matang untuk menikah.
Kami bertekad menjalani masa pacaran dengan cukup singkat. Tapi cerita miring teman-teman kerjaku tentang Edo, membuatku was-was. Memang dia bukan tipe cowok tak bertanggung jawab atau playboy misalnya. Tidak, sama sekali tidak! Hanya saja teman-teman kerjaku meramalkan hubunganku dan Edo akan kandas di tengah jalan. Karena ditinjau dari bintang kami. Aku berbintang Leo, dan Edo yang Taurus. Mereka hampir memastikan kami akan lebih sering bertengkar ketimbang akur. Kami kerap tak seide.
Tapi apalah arti ramalan bintang? Bagiku itu nonsense! Buatan manusia yang hanya menjadi bunga-bunga kepalsuan. Manusia lahir dan hidup sesuai dengan takdir dan perjuangan kerasnya. Maka, kuanggap angin lalu saja cerita miring tentang lelaki yang kudamba menjadi suamiku sehidup-semati itu.
Edo pun demikian. Cintanya kepadaku menggebu-gebu. Dia juga sudah merencanakan dalam waktu dekat akan melamarku. Lalu tak perlu menunggu berbilang bulan, kami akan menikah dengan pesta yang meriah.
Ah, kubayangkan menjadi ratu sehari di pesta itu. Kemudian menjalani hidup sebagai seorang istri yang sakinah. Semoga Tuhan membimbing kami. Semoga tak ada aral melintang yang mengganjal hari-hari kami yang penuh cerita indah.
Tapi harapan tinggal harapan. Manusia berkeinginan, tapi Tuhan juga yang memberi kepastian. Di ambang rencana Edo melamarku, tiba-tiba dia memutuskan menunda dulu. Penyebabnya, adik perempuannya akan menikah dalam jangka waktu tak lama lagi. Jadi, orangtua Edo meminta agar Edo menunda melamarku setahun kemudian. Alasannya hanya diakibatkan pandangan ortodoks mereka, karena pamali menikahkan anak di tahun yang sama.
Tapi aku tetap bersabar. Mungkin itu memang rencana Tuhan yang tak ingin aku dan Edo menikah di saat-saat yang salah. Kuanggap saja semua sebagai cobaan bagi sepasang insan yang ingin mematangkan kasih menjadi sepasang suami istri.
Dua bulan setelah pesta pernikahan adik Edo, muncul pula gosip yang tak sedap di kantorku. Menurut rekan-rekan kerjaku, Edo mulai melirik perempuan lain yang kebetulan sekantor dengannya. Kata mereka perempuan itu cantik. Bahkan lebih cantik dariku. Sudah berkali-kali Edo dipergoki mereka berjalan berdua perempuan itu di tmall  maupun tempat hiburan.
Alangkah sakit hatiku. Bagaimana mungkin lelaki yang mencintaiku sepenuh jiwa, berani bermain api? Berarti pernikahan adiknya itu, hanya sebagai alasan Edo agar dia tak jadi melamarku. Seharusnya sebagai seorang abang, dialah yang lebih berhak menikah lebih dulu ketimbang adiknya. Mungkinkah ramalan bintang yang digembar-gemborkan rekan-rekan kerjaku terbukti?
Tapi aku  menguatkan tekad untuk mempercayai Edo sepenuh hati. Bisa saja perempuan yang sering bersamanya itu hanya sekadar teman kantor, bukan teman kencan. Nyatanya ketika aku mengorek keterangan darinya, dia hanya tertawa terbahak-bahak. Katanya, perempuan itu memang cantik. Namun apa salahnya dia cantik? Apa salahnya Edo sering berjalan bersamanya? Toh, itu hal yang wajar. Perempuan itu adalah bawahan Edo. Dia wajib membimbingnya karena si perempuan masih dalam tahap training. Perkara jalan di mall atau tempat hiburan, itu juga urusan pekerjaan. Edo seorang manager pemasaran. Dia sering bertemu koleganya di tempat seperti itu.
Akhirnya aku mengakui kejujurannya. Karena aku yakin, kebanyakan orang, baik lelaki atau perempuan akan kesal dan marah-marah bila sang kekasih bertanya-tanya tentang gosip perselingkuhannya di luaran. Itu berarti, dia memang ada niat berbuat atau memang sudah melakukannya. Nah, Edo malahan tertawa, dan sama sekali tak menyimpan kedustaan di matanya.