Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5d2ca54c0d82306575398172/ikan-asin-dan-mah-yong?auth_success
Hidup menjadi begitu berwarna manakala tiga tahun lalu aku dicintai seorang perempuan cantik dan penuh keibuan. Bagaimana tidak. Hingga berumur tigapuluh enam tahun, aku belum pernah berpacaran sekalipun. Apalagi sampai melangkah lebih jauh, semisal melakukan "hubungan terlarang". Wajarlah di tempat tinggalku, aku menjadi bahan guyonan; sebagai si bujang lapuk, atau lajang tulen.
Memang kuakui kondisi tubuhku taklah meyakinkan dicintai perempuan. Selain kurus, kulitku terlalu pucat. Tulang-tulang di wajah ini bertonjolan. Mungkin mirip mumi bagi sebagian orang. Itulah yang menyebabkanku menjadi lelaki minder. Walau secara materi aku lumayan berkecukupan. Ayah seorang pejabat teras di pemerintahan. Ibu seorang dosen. Berhubung kondisi tubuh tak mengijinkan, aku merasa selalu bagaikan pungguk merindukan bulan.
Dicintai Aini (nama samaran) saja bukan kebetulan semata. Dia adalah anak teman ayah. Awalnya dia berkunjung ke rumah bersama Linda (nama samaran kakakku). Dari berkenalan sampai berbincang akrab, menjadikan kami cukup dekat.
Di hari-hari berikutnya, dia semakin sering bertandang ke rumah, bersama atau tanpa Linda. Tentulah hatiku bermekaran ibarat bunga di taman. Apalagi dua bulan setelah kami bersahabat, dia yang lebih dulu "menembakku". Kira-kira dia mengatakan demikian, "Aku senang bersama abang. Rasanya nyaman. Aku mencintaimu, Bang!"
Seketika aku melambung. Aku lupa daratan. Tak sungkan aku berterimakasih kepada Linda, bahwa perantaraan dialah aku bisa berkenalan, sekaligus berpacaran dengan Aini.
Saat itu aku sudah berpenghasilan lumayan di sebuah perusahaan swasta. Maka tak canggung aku memberikan segala yang diinginkan Aini. Hanya sekedar mengatakan sangat menyukai sesuatu, langsung saja sesuatu itu kubeli dan kuberikan kepadanya. Apalagi?
Dia adalah berkah yang tiada tara. Bagaimana mungkin perempuan secantik dan keibuan seperti dia sanggup berpacaran denganku? Tentulah aku tak boleh menyia-nyiakannya. Bahkan aku sampai membelikan Aini cincin serta gelang emas sebagai bukti cintaku yang berkepusu kepadanya.
Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5d2ea5dd0d823049cc1e8b62/tukang-sulap
Tapi kesyahduan bersama Aini mulai diganggu oleh pihak ketiga. Harman (nama samaran teman akrabku) seringkali meragukan cinta Aini. "Dia begitu memikat. Sepertinya mustahil dia mencintaimu. Ayolah, kau harus lebih waspada. Aku mengenal dekat dia, meski dia sama sekali tak tahu kalau kita berteman akrab" katanya kala itu seolah menyindir.
Aku tersinggung. Ucapan Harman hanya sebuah ejekan, bahwa lelaki seperti aku tak wajar dicintai perempuan serupa Aini. Aku yakin Harman hanya iri. Karena bagaimanapun gagah dan tampannya dia, toh sampai aku berpacaran dengan Aini, dia belum sekalipun berpacaran serius. Dia juga bujang lapuk bagaikan aku, walau sesungguhnya kondisi kebujanglapukannya mutlak karena dia adalah seorang Don Juan.