Tak lebih empat puluh tiga hari di negeri orang, datang pula berita yang menyayat-nyayat hati. Ibu meninggal mendadak. Tak ada penyakit yang diidapnya, atau tak ada celaka sebagai pangkal lepasnya ruh. Hanya usianya sampai di batas, sehingga meski sangat sedih aku harus berpasrah.
Aku hampir-hampir berhasrat berhenti sekolah, kemudian pulang kembali ke daerah asal untuk mencari penghidupan buatku dan adik. Sayang sekali saudara laki-laki Ibu menolak niatku. Kami memang sama-sama menghadiri prosesi pemakaman Ibu. Tapi setelah itu saudara laki-laki Ibu kembali memboyongku, plus adik ke rumahnya. Kami disekolahkan di sana sampai berbilang tahun. Sampai aku tamat SMA dan bekerja di sebuah perusahaan kecil. Sedangkan adikku terus melanjutkan pendidikan hingga universitas.Â
Aku merasa sangat berhutang budi kepada saudara laki-laki Ibu itu. Maka setiap kali gajian, aku sengaja menyisihkan sebagian penghasilanku untuknya. Nyatanya dia menolak pemberianku. Begitu pula ketika adikku akhirnya meraih gelar sarjana, kemudian membuka usaha rumahan, tetap saja laki-laki itu tak mau menerima apapun yang kami berikan dengan ikhlas.
Tanpa terasa aku akhirnya menikah dengan seorang perempuan sederhana kemudian pulang ke daerah asal untuk membuka usaha sendiri. Sedangkan adikku tetap tinggal sekota dengan lelaki itu. Atas bantuannya yang tidak ternilai itu, suatu waktu aku dan adikku berencana akan memberangkatkan laki-laki itu ke tanah suci. Mudah-mudahan terkabul, karena hingga sekarang hampir sembilan puluh persen dananya sudah tersedia.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H