Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Pernah Terjebak Menjadi Pengemis

9 Juli 2019   11:43 Diperbarui: 9 Juli 2019   11:56 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : www.apa-hai.org

Apalah jadinya jika hidup dijepit kemelaratan? Jiwa menjadi tak tenang. Emosi meledak-ledak. Pikiran kusut. Seperti itulah yang kualami belasan tahun lalu, bergeliat di tengah keluarga besar tanpa orang tua yang berpenghasilan memadai. Karena mereka hanya penggarap sawah. Karena kami para anak hanya bisa menadahkan mulut tanpa bisa memaculkan tangan demi membantu mereka. Kami para anak hanya mampu menambah kemalaratan.

Dalam kekalutan, aku diajak teman merantau ke kota P. Dia berjanji, jika aku hijrah ke sana, hidupku lebih mendingan. Lagi pula aku tak perlu lagi menyusahkan orang tua, melainkan meringankan dengan kiriman weselku kepada mereka.

Tentulah orang tua tak mau menegah langkahku. Selain aku anak laki-laki, dengan hijrahnya aku dari ketiak mereka, sudah barang tentu mengurangi derita keduanya. Satu mulut berkurang. Satu beban terhilangkan. Keduanya berdoa agar aku sukses dan bisa menarik seluruh anggota keluargaku dari kemelaratan.

Tapi apa yang kutemukan di kota P? Tak ada yang menggembirakan! Par (nama samaran temanku itu), kiranya hanya membual-bual. Sukses apa dia? Rumahnya saja tak lebih bagus dari barak kambing juragan BA di dusun kami. Air tergenang di mana-mana. Got mampet dan bau. Tak ada kakus khusus selain menumpang dengan tetangga. Lebih menyakitkan lagi pekerjaan yang digadang-gadangkannya membuatku sukses, ternyata hanya menjadi pengemis. Pengemis? Pekerjaan memalukan dan menistakan! Hampir saja aku minggat karena merasa tertipu. Namun memikirkan minggat adalah pilihan terburuk, yang artinya kembali menyusahkan orang tua di dusun, kutahan-tahankan hati bertahan di kota. Kucoba dengan bantuan Par melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan. Menjadi buruh, jadilah!

Nyatanya begitu sempit pintu untuk orang yang putus sekolah seperti aku. Akhirnya dengan wejangan-wejangan Par, yang terkadang miris di telinga, membuatku menguatkan hati. Siapa tahu profesi pengemis hanya kujalani seminggu-dua. Selanjutnya aku menemui titik terang, misalnya bertemu kenalan yang mengajakku menjadi buruh bangunan. Tentulah jiwaku tenang, dan tak merasa terhina.

Sayang sekali harapan tetaplah harapan. Keinginan selalu saja majal mengukir kenyataan. Seminggu kujalani mengemis, tak ada kenalan yang menawari pekerjaan lebih terhormat. Dua minggu mengemis, tak ada orang yang memberi jalan terang, meski aku menjura-jura agar mereka melapangkan jalanku untuk sebuah nama "Pekerjaan Terhormat". Sebulan pun berlalu, wajahku menjadi "tebal". Aku tak malu lagi mengemis. Berbagai trik-trik menampilkan ketiadadayaan pun semakin ahli kulakukan. Misalnya pura-pura pincang, atau pura-pura buta.

Rejeki dari mengemis lumayan berlimpah. Pertama malu-malu, dan tak betah, selanjutnya aku berani dan kerasan. Aku berterima kasih kepada Par karena telah memberikanku jalan terang. Pekerjaan mengemis taklah membuat capek, hanya berpanas saja seharian di jalanan. Tinggal menadah dengan wajah dan suara menyedihkan, kepingan logam, bahkan lembaran seribuan memenuhi tas kecil yang kubawa. Par sendiri terkejut melihat rejeki yang kudapat. Sambil bercanda dia mengatakan, mungkin jalan hidupku dari mengemis.

Berkat simpanan uangku lumayan penuh, aku sanggup mengirimkan wesel kepada ayah-ibu, meskipun sedikit. Aku juga bisa mengontrak rumah untukku dan Par di lokasi yang lebih memadai. Par kemudian mendatangkan adiknya dari dusun. Dia menyuruh si adik berjualan rokok di teras rumah. Jadilah menambah corong rejeki kami. Aku dengan ikhlas menambahi modal jualan itu, hitung-hitung tanda terima kasih karena Par menjadikan aku pengemis.

Hampir delapan bulan berlalu, tiba-tiba Par memutuskan berhenti mengemis. Dia mendapat pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah orang kaya. Dia langsung mengajakku. Karena si orang kaya membutuhkan seorang pekerja lagi untuk petugas jaga malam.

Terus-terang aku menolak, hingga membuat Par terkejut. Semasa menjadi pengemis junior, aku berulang-ulang meminta Par mencarikan pekerjaan lebih terhormat buatku. Ketika ada pekerjaan sebagai petugas jaga malam, kok tiba-tiba aku menolak. Dengan senyum malu-malu kukatakan bahwa bekerja di rumah orang kaya itu tak bebas. Selalu dimarah-marah dan disalahkan. Aku ingin pekerjaan di perusahaan saja, sebab dimarahinya paling-paling akibat ketidakdisiplinan atau teledor. Par maklum. Padahal aku membohonginya. Bukannya aku enggan bekerja di rumah orang kaya beserta unek-unek lainnya, melainkan aku sudah betah menjadi pengemis. Aku merasa bahwa nasibku memang mengemis. Bahkan ketika adik Par menyarankan agar aku membuka konter pulsa saja di teras rumah, aku emoh. Dia beralasan bahwa mengemis itu tak boleh dijadikan sebagai profesi terus-terusan. Bila sudah cukup modal, lebih baik usaha yang lain saja. Karena bila tetap mengemis, mendapat pacar juga sesama pengemis. Menikah juga dengan pengemis, atau gelandangan misalnya. Jawaban dariku hanyalah, "Tahu apa anak kecil masalah profesi pengemis!"

Par kemudian menawarkan pekerjaan sebagai karyawan di pabrik milik bosnya. Namun aku menolak. Par yang menganggapku plin-plan mencoba mengorek apa alasanku menolak menjadi karyawan yang pasti lebih terhormat dari tukang kebun, lebih mulia dari pengemis. Dengan malu-malu kukatakan bahwa diri ini sudah betah sebagai pengemis. Katakanlah mengemis itu sudah sejiwa denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun