Dari kecil aku tak memusingkan kekurangan parasku. Meskipun berkulit kuning terang, nyaris putih, tapi hidungku mirip biji jambu mete. Aku sering diejek teman-teman dengan sebutan si pesek. Beruntunglah nenek membesarkan hatiku. Pesek itu pemberian dari Tuhan, katanya. Itulah yang terbaik buatku. Yang penting aku sehat dan seluruh anggota tubuhku lengkap.
Kecuekan menghadapai setiap ejekan orang di sekelilingku, nyatanya hanya bertahan sebatas aku sekolah SMP. Namun menginjak bangku SMA, aku mulai risih. Aku tak enak hati melihat seorang dua teman perempuanku ditaksir lelaki lain. Bahkan ada juga yang mulai serius pacaran. Sementara aku, selalu hanya bisa bercermin ketika sedang jatuh cinta kepada seorang pujaan hati. Cinta selalu kupendam diam-diam. Diam-diam memerhatikan setiap gerak-gerik lelaki yang kutaksir. Namun manakala tatapnya bersirobok dengan mataku, aku beranggapan bahwa itu tak sengaja. Nyatanya, tak sekali pun lelaki yang kutaksir berniat mengajakku berbincang lebih lama dan serius. Selain hanya ucapan-ucapan sehari-hari; "Hai! Hallo! Apa kabar? Pe-er-mu sudah siap?"
Aku akhirnya lebih sering mengurung diri rumah setiap kali pulang sekolah atau ekstra kurikuler. Itulah yang membuat mama terheran-heran. Sekali waktu dia mencoba mengajakku berbincang lebih serius. Mengapa di usiaku yang menginjak delapan belas tahun, aku tak menjalani keriuhan berteman seperti menghadiri pesta-pesta, atau berpelesir. Malu-malu kuutarakan bahwa aku tak percaya diri terhadap hidungku yang pesek.
Mama hanya tertawa saat itu. Mama merasa aku seorang gadis pesimis. Papaku nyaris sama sepertiku, berhidung pesek. Buktinya hidung pesek bukan masalah baginya untuk bergaul, memacari mama, menikahinya, sehingga aku lahir di dunia ini.Â
Aku lekas membantah. Papa seorang lelaki, jadi tak ada urusan apakah dia berhidung pesek, berwajah bopeng, atau apalah! Lelaki itu tetap diminati cewek. Â Bahkan kadang lelaki berwajah sangar malah dicari-cari. Cenderung macho kata teman-teman perempuanku.
Akhirnya sama saja, aku tak bisa lepas dari keterasingan. Aku merasa bukan pemilik asli hidung pesek. Tuhan tak adil, Kenapa sebagai perempuan aku dianugerahi hidung pesek?
Di masa kuliah, kondisi yang kualami bertambah parah. Banyak mahasiswi yang cantik, dan barangkali senang mengejek. Terkadang mereka bisik-bisik sambil melirik ke arahku. Aku yakin mereka mengatai-ngatai hidungku.Â
Saat itulah tak dinyana seorang mahasiswa cukup tampan mencoba mendekatiku. Dari sekadar berteman, dia mengatakan jatuh cinta kepadaku. Jelas saja hati ini berbunga. Tak sampai sebulan berteman, akhirnya kami jadian. Aku senang. Ternyata meski berhidung pesek, aku berhasil juga mendapat pasangan yang mengagumkan.
Kami menjalani masa berpacaran hampir tiga bulan. Hingga terbongkarlah rahasia bahwa sebenarnya lelaki itu hanya memperalatku. Dia tak murni mencintaiku. Dia mencintai uangku, karena selama kami berpacaran, akulah yang membayar segala biaya jalan-jalan, menonton, makan-makan.Â
Awalnya aku tak menyangka dia memperlakukanku demikian. Tapi Erin (nama samaran sepupuku) yang satu universitas denganku, membocorkan bahwa lelaki itu hanya ingin memoroti uangku. Buktinya ketika selidik punya selidik, akhirnya aku berhasil mendengar dia mengumbar omongan di depan teman-teman lelakinya saat berada di kantin. Aku menguping dia terbahak-bahak. Dia mengatakan senang berjalan denganku bukan faktor cinta. Hanya faktor uang. "Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta kepada perempuan berhidung lucu itu?"
Cukup sudah aku dipermalukan. Begitu aku memutuskan cinta dengannya, aku tiada peduli meski dia meminta maaf dan tetap ingin bersamaku. Bagaimana mungkin aku mau terjebak di kubangan sama?