Nah, di sinilah tanpa kusadari tugas membalaskan sakit hati kepada mereka yang menyepelekan keluargaku dulu, akan terbayar. Salah seorang saudara ayah, tiba-tiba bertamu ke rumah. Aku menerimanya dengan sikap cuek. Manakala dia meminta bantuanku untuk memasukkan anaknya yang sarjana bekerja di perusahaan tempatku bekerja, langsung saja ku-skak dengan kata; tidak! Saudara ayah itu langsung membelalak. Tapi dia tak emosi, selain menghiba agar aku meluluskan niatnya.Â
Bahkan dia mengimi-imingiku sejumlah uang, bila anaknya bisa bekerja. Tapi tetap saja aku menolak. Bahkan aku melanjutkannya dengan membuka kenangan lama. Di mana dulu, dia dan saudara-saudaranya yang kaya, telah menganggap keluargaku sebagai sampah. Lalu kenapa setelah aku jaya, dia mendadak bertingkah layaknya pengemis. Dengan halus langsung kuusir dia, meskipun ayah-ibu kelihatan ingin memrotes.
Begitulah waktu berlalu dan tetap berpihak kepadaku. Saudara-saudara ayah dan ibu, lambat laun seperti terkena karma. Seorang demi seorang menua, dan penghidupan mereka ambruk. Anak-anak mereka tak ada yang bekerja mapan. Semuanya berjibaku di perusahaan swasta yang kecil, dan tentu bergaji kecil pula. Lalu, seorang demi seorang pun berubah menjadi benalu. Seorang demi seorang mulai sering meminta bantuan dana dariku.
Tapi aku toh bukan perusahaan penderma. Aku mendapatkan uang dengan perjuangan keras. Kristalisasi keringat! Dan mereka dengan seenak perut ingin meminta uangku cuma-cuma. Oh, tak bisa! Kalau mau uang, mereka harus meminjam. Seperti yang diperbuat mereka dulu kepada keluargaku, maka aku membuat undang-undang sama. Barangsiapa yang ingin meminjam uang kepadaku, haruslah mengembalikannya berikut bunga-bunga yang beranak pinak. Bila tak mau, silahkan angkat kaki.
Orangtuaku akhirnya menegurku. Kira-kira seperti ini yang mereka katakan, "Naisya, orang-orang yang meminta bantuanmu, adalah saudara-saudaramu sendiri. Bantulah mereka yang sekarang hidupnya melarat. Kalau kau tak mau memasukkan mereka bekerja di perusahaan itu, tak apa-apa. Tapi setidak-tidaknya berilah bantuan uang kepada mereka. Kasihan, Nak!"
Aku menanggapinya dengan tawa menghina. Kukatakan saja bahwa semua perbuatanku adalah mutlak untuk membalas perbuatan mereka yang dulu sangat menyepelekan keluargaku. Tuba harus dibalas tuba.
"Naisya! Biarkanlah orang lain berbuat jahat kepada kita. Tapi jangan sampai kita terjangkiti. Kalau kau membalas sakit hatimu seperti perbuatan yang dulu mereka lakukan kepada kita, maka kau sama saja jahatnya dengan mereka. Berbuat baiklah, Nak!" Kedua orangtuaku masih terus-terusan menasihatiku. Sayang, setiap ucapan mereka bagaikan air yang mengalir di daun talas di benak ini. Tak lengket sedikit pun.
Karena tak tahan mendengar nasihat bertubi-tubi, belakangan aku memisahkan diri dari kedua orangtuaku. Aku ingin merdeka. Bebas berbuat seperti kata hati. Namun aku tetap membiayai hidup mereka hari demi hari.
Saat hidup sendirian itulah aku mengenal seorang lelaki. Sebut saja namanya Ito. Kami sama-sama jatuh cinta. Tak sampai berpacaran setengah tahun, kami pun menikah. Sementara keegoisan dan kesombonganku terhadap orang tak berpunya semakin menjadi. Bukan saudara-saudara ayah-ibu saja yang menjadi korban, melainkan setiap orang yang berusaha meminta tolong kepadaku. Bagiku pertolongan tak ada yang gratis. Kehidupan mapan yang kujalani, pun kuperoleh bukan cuma-cuma. Tapi perlu kerja keras terus-menerus.
Rasa soliderku bertambah menutup. Nasihat Ito sengaja kusepelekan. Sering dia berkata seperti ini, "Ingatlah Naisya, hidup kita di dunia ini tak sendiri. Tapi bermasyarakat. Saling tolong-menolong. Lagipula, belum tentu kita yang terus-terusan dimintai tolong oleh orang lain. Siapa tahu suatu hari kelak, kita malahan yang meminta tolong kepada mereka. Kalau tak ada yang mau menolong kita, kau mau berbuat apa?"
Aku biasanya langsung menjawab, "Dulu ketika keluargaku sengsara, tak ada masyarakat yang perduli. Nah, sekarang aku berbuat serupa. Apa aku salah?"