Tak ada seseorang pun yang dapat menerka nasib orang lain di masa yang akan datang, apakah menjadi sukses atau malahan terpuruk. Oleh sebab itu, sebaiknya setiap insan menyikapi orang-orang di sekelilingnya dengan bijak. Artinya, perlakuan terhadap orang kaya haruslah sepadan dengan perlakuan terhadap si miskin. Jangan dibeda-bedakan. Si kaya belum tentu akan terus kaya, begitu pula si miskin belum pasti tetap melarat. Dan siapa menyangka bahwa kejadian itu akhirnya terbukti kepadaku.
Sebelumnya, ketika masih kanak-kanak, kehidupan keluargaku hanyalah pas-pasan. Bahkan setiap hari ayah harus memutar otak untuk membayar, kemudian mencari hutang. Ibarat kata, hidup kami dilalui dengan menggali lobang, lalu menutupnya, lalu menggali lagi. Seperti itulah terus menerus. Sementara, meskipun saudara-saudara ayah maupun ibu ada yang kaya, namun mereka semua berpaling. Mereka menganggap kami najis yang harus dijauhi. Hingga setiap kali ingin meminta bantuan, pintu-pintu rumah mereka langsung menutup.Â
Memang sekali-sekali ada juga di antara mereka yang mau membantu dengan meminjami ayah uang ala kadarnya. Tapi pinjaman itu harus dikembalikan berikut bunga-bunganya. Mereka tak berniat membantu sungguh-sungguh, hanya ingin menjerat kehidupan keluarga kami supaya lebih sengsara dan sekarat.
Itulah yang membuat tekad membaja di dadaku untuk memperjuangkan hidup lebih baik. Sambil bersekolah, aku sengaja berjualan kue yang dibuat ibu. Mungkin karena jalur nasib yang bagus, suatu hari aku bertemu sepasang suami-istri kaya-raya. Keduanya takjub melihatku yang masih kecil sudah mencari nafkah. Mereka jatuh kasihan. Akibat belum memiliki momongan, maka mereka berniat mengangkatku sebagai anak.
Tentunya aku dan ayah-ibu bukan main senangnya. Hanya saja, kami tak ingin berpisah, sehingga diputuskanlah agar aku tetap bersama orangtuaku. Sementara seluruh biaya hidup dan sekolahku dibantu orangtua angkatku.
Aku sangat bersyukur. Sejak saat itu hidup kami terbantu. Lepas sudah beban ayah-ibu untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang lebih tinggi. Lalu sebagai seorang anak yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka itu, aku berjuang keras menyelesaikan setiap jenjang sekolah dengan baik. Terbukti akhirnya lulus-lulusan esde, aku memperoleh predikat juara umum.Â
Saat duduk di bangku SMP dan SMA, pun gelar juara tetap berada di dalam genggamanku. Itulah yang membuat kedua orangtua angkatku merasa tak merugi menghabiskan uang untukku. Kemudian, tak tanggung-tanggung, mereka menguliahkanku sampai memperoleh gelar sarjana ekonomi dari sebuah universitas negeri ternama di kota Pek.
Ternyata nasibku semakin bagus. Setamat kuliah, aku langsung memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan per-bank-kan dengan gaji lumayan. Rumah buruk kami, pun langsung kuubah menjadi rumah setengah mewah. Bahkan aku berhasil membeli mobil bekas demi menaikkan pamor diri.
Saat itulah aku ingin menunjukkan kepada saudara-saudara ayah-ibu yang dulunya sombong, bahwa si Naisya (nama samaranku) bukanlah anak kecil-kurus dan miskin seperti yang mereka kenal dulu.Â
Aku telah bekerja serta memiliki gaji lumayan. Maka, bila suatu saat mereka ingin meminta bantuan dariku berbentuk apapun, Â aku tak segan-segan membalikkan keadaan. Bagaimana sikap mereka dulu kepada keluargaku, begitu pula aku membalasnya.
Tapi dasar, saudara-saudara ayah-ibu yang dulu kaya, tetap saja kaya. Hingga niatku ingin membalas dendam tak kesampaian. Namun menginjak tahun kelima bekerja di perusahaan per-bank-kan itu, jabatanku tiba-tiba naik drastis. Aku dipercayakan pimpinan mengepalai bagian personalia. Posisi yang menurutku begitu berkelas dan terpandang.Â