Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Lalu Biarlah Berlalu

1 Juli 2019   20:55 Diperbarui: 1 Juli 2019   21:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Itulah akhirnya aku pasrah menerima apa adanya. Aku bersedia melakukan hubungan intim dengan Saf. Dan hasilnya dapat ditebak. Kulihat wajah Saf berubah muram setelah "itu"usai. Besok harinya, lalu besoknya lagi, dia seolah dingin kepadaku. Bahkan dua minggu setelah pernikahan kami, dia tiba-tiba permisi mau pulang ke rumah orangtuanya. Tentu saja tanpa diriku.

Aku sudah yakin dia akan memutuskan tali pernikahan kami. Ya, aku harus pasrah menjanda. Semua memang salahku. Aku telah terperangkap masa muda yang tak benar. Begitulah, penyesalan selalu datang terlambat.

Tiga hari lamanya Saf berada di rumah orangtuanya. Di hari keempat dia pulang, lalu mengajakku menginap di hotel. Katanya berseloroh, bahwa dia ingin mencicipi berumahtangga hanya berdua denganku. Bukan berada di bawah naungan rumah mertuanya. 

Aku manut saja, meskipun mencurigai keinginannya yang aneh dan mendadak itu. Saat kami berada di kamar hotel, barulah dia menembakku dengan pertanyaan yang sungguh mematikan, "Benarkah kamu tak perawan lagi?"

Aku mencoba berdusta. Tapi yang namanya dusta, kelak akan menyengsarakan juga. Lebih baik jujur. Menerima apa adanya, termasuk konsekuensi diceraikan. Sambil meneteskan air mata, aku pun mengatakan memang tak perawan lagi. Aku bersedia diceraikan kalau dia memang tak menerima kondisiku yang sebenarnya.

Tapi apa jawaban darinya membuatku terpengarah. Dia mengakui sangat kecewa tatkala menyadari aku tak perawan lagi ketika kali pertama kami berhubungan intim. Itulah sebabnya dia minggat ke rumah orangtuanya demi menenangkan diri. Hanya saja dia tak ingin menjadi orang yang naf. Dia juga bukan perjaka lagi, karena masa lalunya juga suram seperti diriku. "Ya, kita sama-sama sudah menjadi orang yang bertobat!" katanya kala itu.

Kami akhirnya sama-sama bisa menerima kondisi masing-masing. Masa lalu biarlah berlalu. Masa sekarang yang harus dijalani. Dan masa nanti yang mesti direncanakan semoga berjalan baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun