Entah kenapa ada jangkrik di kamar. Krik, krik, krik. Bunyinya membuat bising. Kunyalakan lampu. Hampir pukul tiga dini hari. Aku mencari asal suara itu di bawah kolong tempat tidur. Sampai mataku lamur, tetap tak ada. Suara itu sekarang hilang. Aku mematikan lampu, dan kembali tidur.
Jangkrik itu lagi berbunyi. Krik, krik, krik. Sangat dekat dengan telingaku. Aku kembali menyalakan lampu. Tak sadar kakiku menendang kaki meja. Gelas yang ada di atasnya membunuh kesunyian dini hari. Bakri membuka matanya separoh.
"Ada apa, sih?" Dia berbalik memunggungiku.
"Jangkrik!"
"Ah, kau hanya bermimpi."
"Beneran!"
"Mana?"
Hening. Suara jangkrik itu hilang sama sekali. Bakri sengaja duduk sambil memeluk kedua belah lutut. Kami menunggu hingga seperempat jam, tak ada hasil. Bakri menepiskan angin. Rebahan, dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Dia menjeritkan lampu, menyuruh aku mematikan cahaya menyilaukan itu.
Perlahan aku mematikannya, lalu berjalan menuju jendela. Aku seperti melihat seorang anak di situ. Seorang lagi. Seorang lagi. Mereka lima orang. Membawa ransum masing-masing. Tikar digelar. Mereka duduk melingkar. Seorang anak melongok ke rantang temannya.
"Lauk apa?"Â
"Ayam panggang."