Aku harap paham lukisan bunda, melukis kata bukan fatamorgana, dia yang mengajari mengupas jelanak asap pada tungku, mencintai tak usah menyayat mata, dia hanya menyimpan luka, dalam jelaga lukisan yang mengabarkan luka, mungkin aku selalu salah menebak, sedalam itu dia mengubur rasa, tapi dia selalu berkata nyata, agar anak do'a tak gagap dunia, begitu abstrak lukisan kata, bunda hanya mengatakan itulah pelangi, yang menyela-nyela antara cahaya dan rinai.
Tak aku tahu dia garap gagah dari lunglai kata, patahnya kuas baginya hanya alat, selama ada tenaga dan rasa, dia tetap menggarami anak do'a mengawang di puncak harap, karpet merah sebagai pengantar suka, pada nirwana dunia.
Lukisan bunda tak sanggup kubaca, warnanya tetap terasa, mantra meja makan tak merawat selara, dengan roda aku kirimkan meja makan kota, pada resep rahasia yang membuat aku merasa, bunda selalu berjuang menuang bahagia, dan aku tertawa, di bilik luka dia coba besalin rupa, aku suka, katanya. Sampai sekarang aku tetap gamang, memaknai lukisan kata bunda, antara merawat tunas, dan mengobat luka. Sungguh aku masih mengais pintu sorga, pada telapak yang murka, dan tetap menyiram cuka, menanam luka, dia tetaplah tertawa..
Kasihbunda,062019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H