Aku telah menjamah anak-anak doa dari liang tak berdasar, tapi aku gamang, berpuluh purba telah kuasa rasa, terasa majal untuk mengerti apa-apa, karena aku bukan pujangga, hanya sejumput gombal yang mungkin laku di kaki lima, untuk mengusap gelisah di leleran usia yang mengurat, ternyata duka itu begitu dalam mencengkram hasrat tak berbalas, aku tahu kau kehilangan anak-anak doa, karena mereka telah terhapus sebelum hujan menembus garing, aku menyudahkan surat-surat doa yang dipulangkan.
Purna waktu dalam igau masa lalu, rebahkan harap pada tiarap yang ragu, aku harap mahligai cinta itu tetap dipupuk dalam taman-taman kata, meski larut dalam cacat syair, kau telah melagukan getir, ketika itu senja gegas gelap, mungkin hujan akan merapal kenang kunang-kunang, aku ingin kau pulang dan menang. Bukankah cinta harus dirawat dengan harap?
Semoga kau ikhlas menyesap epilog cinta, di ubun masa akan kau temukan bunga, liar dalam rekah duri, tapi dia akan menjaga cinta itu dari ramah tangan lelaki, begitu tajam rasa menguliti asmara yang tertumpah, katakanlah hanya majal untuk semua orang, dan tajam mengerat hari-harimu yang bermula dari gairah, berakhir dengan berserah, ketika kau kalungkan tajam itu ke apel penghabisan, mungkin kesakitan lebih nikmat dari raut pedang, terserah epilog cinta, doa-doa akan tetap mengalir, di antara usaha yang bernas, meski epilog itu menujum luka.
Ujungdoa,062019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H