Minggu yang cerah. Rumah masih seperti kapal pecah. Aku melihat Mas Sam masih meringkuk di atas kasur. Dengkur halusnya samar terdengar di antara deru kipas angin. Posisi full tak membuat angin yang keluar dari putaran baling-baling begitu deras. Debu tebal mengeras di antara besi-besi penutupnya, mengurangi daya elus angin.
Aku teringat pertanyaan Mak Iroh, ibu Mas Sam, sebagai pemantik awal saat kami sama-sama mengelilingi meja makan pada  saat lebaran. Masih tentang rencana kapan punya anak, ingin mengemong cucu dan rangkai gerbong pertanyaan yang membuatku pusing tujuh keliling. Gerbong pertanyaan ibu, disambung gerbong saran dari om dan tante menambah rasa pusing dengan rasa mual. Masih tentang berobat kimia  atau herbal, dokter paten atau mendatangi dukun jempolan, pun yang masuk akal juga mistis-mistis.
Semua kuliner di meja makan terasa basi. Padahal rendang, opor, lontong di hadapan, telah menggugah imaji laparku dari lebaran pertama. Dan aku masih bisa mewujudkan imaji itu. Sekarang memindahkan makanan itu ke mulut, seolah memiliki jarak yang amat jauh. Aku hanya mencoba tersenyum dan tak hirau suara mereka yang mendengung serupa lebah. Mas Sam malu-malu. Raut wajahnya berubah-ubah. Terlihat tak menyenangkan. Untunglah telepon dari Wies, menjadi alasanku meninggalkan meja makan dan masuk ke kamar. Wies menanyakan urusan penawaran harga yang akan kami ajukan kepada rekanan, membuatku dapat mengalihkan pikiran suntuk. Aku pastikan akan sampai di kantor secepatnya. Aku cemas berhadapan dengan orang-orang di sekelilingku yang seolah monster menakutkan. Kupastikan juga kepada Mas Sam bahwa tak ada penambahan hari libur di kampung, sebab pekerjaan di kantor menumpuk.Â
Dengkur halus Mas Sam berhenti. Itu artinya dia sudah terbangun. Matanya membuka dan mengerjap-mengerjap. Dia berjalan menuju wastafel, menghidupkannya, dan membasuh wajah. Ketika dia melihatku, aku langsung menawarkan nasi goreng spesial yang diantar mas ojol beberapa saat lalu. Masih hangat, dan pasti nikmat, yakinku. Mas Sam menuju meja makan, tapi memilih mandi dulu. Aku yang sudah mandi, menyiapkan teh hangat, lalu menunggu sambil membaca novel. Saat kami menikmati sarapan hangat, hangat pula sikap Mas Sam.
Tak ada dia menyinggung masalah anak. Dia melulu mengenang kisah-kisah di kampung, yang terkadang menggelikan. Dia sesekali tertawa. Aku mengulum senyum. Dia juga mengusulkan mengunjungi restoran langganan kami itu entar malam. Sekalian menghabiskan sisa libur. Aku menjawabnya dengan anggukan. Betapa senangnya karena dia sama sekali tak menyinggung masalah anak. Dia memang paling bisa membuatku selalu senang.
Tapi, tidak setelah sebulan berselang. Ketimbang senang, aku malah seperti ditantang. Sabtu senja dia tak pulang sendirian, tapi bersama bocah laki-laki bermata bola. Aku ingin bertanya macam-macam kepadanya. Tapi, dia menghindari pertanyaanku dengan alasan akan mandi.
Aku merasa kurang senang melihat sikap Mas Sam. Sebulan sebelumnya dia seperti tidak ingin membicarakan anak. Mungkin karena tak ingin menyinggung aku. Sekarang perbuatannya sangat parah. Tanpa basa-basi dia menohok harga diriku. Dia memang tak bicara masalah anak, tapi sosok mungil itu secara tak langsung diaijadikan alat menyimdir aku. Aku yakin Mas Sam akan mengadopsi anak itu. Itu artinya dia memperturutkan saran Om Arnal, kami harus mengadopsi anak sebagai pemancing agar kami bisa beroleh keturunan. Â Masa lima tahun setelah menikah tanpa anak adalah bencana. Sialan!
Aku heran, Mas Sam yang kukenal selama ini sangat anti  mitos-mitos, sekarang berubah seratus delapan puluh derajat Titelnya yang dokter, semakin menguatkan. Atau dia hanya ingin menyindir karena aku susah punya anak, setelah dokter ahli kandungan memvonis rahimku bermasalah? Aku tak menyangka Mas Sam tega berbuat seperti itu.
Kecurigaanku semakin menguat ketika Mas Sam menyuruh Bik Nah membersihkan kamar tengah. Lebih menguat lagi karena setelah maghrib ada orang bertamu, dan tamu itu membawa koper sedang. Mungkin itu pakaian si anak bermata bola. Aku memilih mendekam di kamar dengan alasan sedang banyak kerjaan kantor. Bahkan aku tak mau ke luar kamar saat si tamu permisi pulang. Hatiku teramat sakit. Tanpa kompromi, Mas Sam ujug-ujug mengadopsi anak. Memangnya aku dianggap apa hingga tak diajak rembukan? Sengaja aku merebahkan tubuh dan memunggunginya, ketika Mas Sam menyusulku rebahan di kasur. Tumben dia mengenakan parfum yang kusukai. Aromanya benar-benar menguasai tempat tidur.
Diawali dengan berdehem, Mas Sam mulai bercerita tentang Adil. Oh, itu ya nama si anak! Aku tak peduli! Adil anak Kang Ode, office boy di rumah sakit tempat Mas Sam bekerja. Istri Mas Ode belum sebulan meninggal. Mereka memiliki anak lima. Yang lain sudah besar-besar. Adil si bontot yang masih berumur empat tahun. Kasihan Kang Ode. Dia harus dirawat di rumah sakit karena maag akut. Mas Sam berrniat mengadopsi si bontot. Begitu mendengar kata adopsi, aku pura-pura tertidur. Mas Sam masih berbicara banyak, aku tak mau menyimak lagi. Mungkin dia sadar aku sudah tertidur, lalu dia diam.
Tak banyak sikap protesku terhadap Mas Sam, juga Adil. Uh, rasanya mulut ini risih menyebut nama si bocah! Aku hanya lebih banyak diam. Aku baru berbicara ketika mengajak mereka makan, atau ketika mereka berdua menanyakan ini-itu. Selebihnya aku bungkam. Hingga ketika aku hampir pingsan di kantor, tiba-tiba ada yang membuatku tak bisa berkata-kata.