Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anggota Klub STI

10 Juni 2019   23:34 Diperbarui: 10 Juni 2019   23:57 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerasnya hidup saat membujang tak dapat kulupakan. Meskipun pendidikanku dijamin seratus persen oleh mendiang Bang Zal, aku tak cengeng menghadapi hidup. Petarung jalan menjadi kernet bus kota, pernah kualami. Menulis, mengamen, mencuci mobil, jualan koran, dan salesman, bukan barang asing lagi. Aku menghargai setiap tetes keringat, bukan demi berleha-leha. Setiap receh harus dipehitungkan agar bisa bermanfaat. "Meskipun uang yang kau dapat seperti air di pancuran, sekali-sekali jangan berbuat mubazir. Masih banyak orang diluar sana, hanya untuk menikmati setetes air, harus berbunuh-bunuhan." Itu petuah mendiang ayah yang keluar dari mulut Bang Zal.

"Him, ini acara resepsi putri bos kepala. Masak kau tak datang." Pean, menyemburkan minyak, hingga panas hatiku berubah bara.

"Kelewatan kalau untuk menghadiri acara seperti ini saja tak datang karena takut istri." Paolo tertawa mengejek. "Atau karena gedung resepsi berdekatan dengan diskotik? Habis resepsi, langsung happy-happy." Tawa semakin riuh. Lampu menyala. Aku bersyukur bullyan akan senyap.

"Him Damsyik aja bisa menjadi Datuk Maringgih meski kerempeng begitu. Kau bertampang Samsul saja, tak laku-laku. Satu saja pasangan, tetep!" Paolo mengakhiri bullyan dengan pukulan telak. Pukulan telak pula yang dia dapat karena bos kepala memanggil pasal hitungan salah.

***

Irama musik Melayu menyambutku di gerbang depan. Lampu kelap-kelip menambah indah panorama alam. Nun di bawah sebatang pohon, aku melihat Paolo, Pean, Suf dan Munsir, tertawa terpingkal-pingkal. Sesekali mereka menunjuk ke arahku.

Aku tetap tegar. Di luaran sini tak berlaku urusan senior-junior, semua sama rata. Aku menyalami mereka satu per satu.

"Aku bukan anggota klub STI, kan? Buktinya aku datang," kataku.

"Datang ya datang. Tapi seorangan. Alasan keluar rumah, tak jauh-jauh dari ngelembur di kantor." Mereka hampir kompak tertawa. Seseorang berjilbab yang turun dari mobil mewah, membuat tawa itu terpotong. Dasar, melihat perempuan bening saja mata langsung ijo!

"Putri dari negeri di awan. Tanpa pasangan pula. Ayo, bertaruh, siapa yang dapat memetik cintanya." Paolo berdecak kagum.

"Sayangnya berjilbab, Man!" celetuk Munsir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun