Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Kepulangan

8 Juni 2019   14:22 Diperbarui: 8 Juni 2019   14:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Menatap jalan menanjak di ujung kampung. Harapnya raung bus mengoyak senja. Tangan kokoh lelaki itu akan melambai-lambai. Bus semakin dekat. Tubuh lelaki itu turun berdebam ke atas tanah. Tangan berlepotan oli  akan mengangkat Er tinggi-tinggi. Bau tubuhnya begitu asem menyengat. Tapi, Er sangat suka. Bau yang amat mengakrabkan mereka.

Er mulai resah. Teguran ibu agar dia menutup pintu, seolah hembusan angin. Gigitan nyamuklah yang memutuskan harapnya. Perlahan dia mundur. Dia tertunduk menjauhi pintu. Ibu menepuk bahunya pelan, menutup pintu-jendela, mencoba tersenyum.

Apa  yang ada di pikirin ibu, ya? Seakan ibu tak risau memikirkan ayah. Padahal lelaki kekar itu biasanya sudah ada di rumah setiap senja, satu hari sebelum lebaran. Berdua Er, mereka akan takbir keliling kampung. Ayah kemudian menunggui ibu memasak rendang, opor, juga ketupat. 

Mungkinkah ayah sudah menelepon ibu bahwa dia tak akan pulang menjelang lebaran? Mereka akan kehilangan kebersamaan saat Shalat Ied di pagi yang syahdu.

Perlahan Er melihat ke arah dinding. Satu stel pakaian muslim ayah sudah terpajang di situ. Sendal berwarna coklat muda, ada di bawahnya, berhimpitan dengan sendal Er bermerk Kenari.

"Kenapa, Er?" tanya ibu sambil menepuk-nepuk sofa, menyuruh duduk. Er seperti tak punya tulang, langsung selonjoran. "Kau sakit?" Lanjut ibu.

"Hmm," gumam Er mencoba tersenyum. Dia beranjak menuju kamar, membiarkan ibu menghitung detak penungguan. Menunggu itu pasti membosankan.

Seharusnya Er bisa kuat. Anak lelaki tak boleh cengeng. Tapi, bantal juga yang jadi sasaran, agar tangisnya tak terdengar ibu. Sampai sembab mata Er.

Kenapa ayah Er seorang supir bus antar kota antar provinsi? Harusnya ayahnya seperti ayah Saf, seorang guru. Liburnya bisa panjang. Malam lebaran bisa takbir bersama. Atau ayah Uril sang dosen. Ayah Pram, si pekerja kantor.

Iring-iringan takbiran melintas di depan rumah Er. Ibu mengetuk pintu kamar. "Tak melihat takbiran, Nak?" tanya ibu. Er semakin membenamkan wajahnya ke bantal. Melihat takbiran, sama saja menambah sakit hati. Akan ada Pram, Uril dan Saf, bergembira bersama ayah masing-masing. Er bertekad tak akan keluar kamar.

Ibu membuka pintu pelan. Udara duka seolah menyergap. Ibu tahu Er sedang menangis. "Kenapa, Er?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun