Menatap jalan menanjak di ujung kampung. Harapnya raung bus mengoyak senja. Tangan kokoh lelaki itu akan melambai-lambai. Bus semakin dekat. Tubuh lelaki itu turun berdebam ke atas tanah. Tangan berlepotan oli  akan mengangkat Er tinggi-tinggi. Bau tubuhnya begitu asem menyengat. Tapi, Er sangat suka. Bau yang amat mengakrabkan mereka.
Er mulai resah. Teguran ibu agar dia menutup pintu, seolah hembusan angin. Gigitan nyamuklah yang memutuskan harapnya. Perlahan dia mundur. Dia tertunduk menjauhi pintu. Ibu menepuk bahunya pelan, menutup pintu-jendela, mencoba tersenyum.
Apa  yang ada di pikirin ibu, ya? Seakan ibu tak risau memikirkan ayah. Padahal lelaki kekar itu biasanya sudah ada di rumah setiap senja, satu hari sebelum lebaran. Berdua Er, mereka akan takbir keliling kampung. Ayah kemudian menunggui ibu memasak rendang, opor, juga ketupat.Â
Mungkinkah ayah sudah menelepon ibu bahwa dia tak akan pulang menjelang lebaran? Mereka akan kehilangan kebersamaan saat Shalat Ied di pagi yang syahdu.
Perlahan Er melihat ke arah dinding. Satu stel pakaian muslim ayah sudah terpajang di situ. Sendal berwarna coklat muda, ada di bawahnya, berhimpitan dengan sendal Er bermerk Kenari.
"Kenapa, Er?" tanya ibu sambil menepuk-nepuk sofa, menyuruh duduk. Er seperti tak punya tulang, langsung selonjoran. "Kau sakit?" Lanjut ibu.
"Hmm," gumam Er mencoba tersenyum. Dia beranjak menuju kamar, membiarkan ibu menghitung detak penungguan. Menunggu itu pasti membosankan.
Seharusnya Er bisa kuat. Anak lelaki tak boleh cengeng. Tapi, bantal juga yang jadi sasaran, agar tangisnya tak terdengar ibu. Sampai sembab mata Er.
Kenapa ayah Er seorang supir bus antar kota antar provinsi? Harusnya ayahnya seperti ayah Saf, seorang guru. Liburnya bisa panjang. Malam lebaran bisa takbir bersama. Atau ayah Uril sang dosen. Ayah Pram, si pekerja kantor.
Iring-iringan takbiran melintas di depan rumah Er. Ibu mengetuk pintu kamar. "Tak melihat takbiran, Nak?" tanya ibu. Er semakin membenamkan wajahnya ke bantal. Melihat takbiran, sama saja menambah sakit hati. Akan ada Pram, Uril dan Saf, bergembira bersama ayah masing-masing. Er bertekad tak akan keluar kamar.
Ibu membuka pintu pelan. Udara duka seolah menyergap. Ibu tahu Er sedang menangis. "Kenapa, Er?"