Sebuah lorong menerima tubuh kami. Lorong berliku dan basah. Amis dan bau tanah. Di ujung lorong Bang Bas bertemu seorang lelaki berjambang dan bercaping. Tugas diserahterimakan. Lelaki itu mengantarku ke dalam sebuah mobil. Bang Bas entah. Namun, aku tak perlu berpikir banyak. Yang penting  bisa bebas, pulang ke kampung halaman.
"Siap?" tanya lelaki itu sambil menekan pedal gas kuat-kuat.
"Siap!" jawabku bergetar. Sepuluh menit lamanya, suara letusan membahana. Aku berusaha merunduk. Mobil tetap melaju kencang. Lelaki di belakang kemudi terkulai. Mobil menghantam tembok pembatas jalan. Todongan senjata laras panjang seketika menyentuh keningku. Bersusah-payah aku keluar dari mobil. Penodong  itu mengarahkan aku ke dalam sebuah mobil. Kami menuju ke pelabuhan.
Saat itulah mulutku diikat dan tubuhku dimasukkan ke peti mati. Aku tak bisa berbuat banyak, bahkan sekadar meminta tolong. Yang ada aku kembali ke kamarku. Diterjang dan diberikan bogem mentah, sehingga pandanganku berkunang.
Mandor Fang langsung memerintahkanku bekerja. Ada seonggok daging siap menunggu kehangatanku. Â "Cepat layani dia!"
Aku mendekati seonggok daging itu. Menarik  selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu aku seketika berteriak. Ternyata dia Bang Bas.
"Sekarang kau puas?" Mandor Fang tertawa sambil melesakkan peluru ke dadaku. Dingin. Membuat tubuhku membeku.
Sekarang aku hanya bisa menjalari layar gawai. Kau tak boleh terkejut. Mungkin setelah membaca cerita ini kita menjadi teman. Tolong tanyakan kepada sang penulis  di mana tempatku dipaksa mengakhiri hidup. Sekarang di sana masih sering terjadi human trafficking. Banyak yang sudah mencoba membongkar sindikat. Tapi, banyak pula yang mau menjual nuraninya kepada para cukong. Â
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H