Pagi menyembur dari setetes embun meniti daun, betapa damainya, semilir angin mengarahkan ingin pada goyangan, pecah ke tanah memberi kehidupan, tunas-tunas lapang di antara basah hutan, padi yang mengabarkan musim berbunga, perempuan-perempuan menghalau gulma, ketika lapau teronggok lesu, setelah berhasil  menyamarkan aroma kopi dari canda tadi malam.
Kembali di sini para petarung jalan, melukis kepulangan di langit, membaui aroma kekanak di antara rumpun teki dan sorak-sorai menyambut pagi di ladang, bunga-bunga telah memutik, sebentar pula genit ranum, menggoda tangan mungil memetik, menjadi mantra di meja makan, dan orang-orang mengulang kenangan rasa dari bumbu masa lalu, dari rayuan tebat belakang, menghadirkan keping-keping duri masa lalu, saat menyamarkan selera, mendidihkan dingin, sendawa puas di mulut, kenyang di perut, betapa tangan bunda meramu masa lalu, mengalahkan jejalan euforia kuliner kota, ketika mereka lupa keaslian, menyesap setiap imitasi, yang membanter meja makan dan meja rumah sakit menata kegagalan menikmati pencarian untuk menghilangkan.
Pagi ini orang kembali merapel sisa kenangan, merapal kidung kepulangan setelah tahu jalan pulang, ketika embun menjadi penyejuk gerah kota, bukan basa-basi, dan dia tak akan menipumu tentang hujan, marilah melukis masa di langit rasa. Siang ini matahari setia menemanimu, Sayang.
Ujungudik05209
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H