Keinginan Aisyah menjadi Rambo, bagaikan jamur tumbuh di musim 0hujan. Keinginan itu muncul setelah dia sembunyi-sembunyi menonton film Rambo di tivi lapau Uda Dahler. Ibu Aisyah langsung marah besar. Bagaimana mungkin putri kecilnya berani pulang malam demi menonton film buruk itu?Â
Kali ini Aisyah cukup tegar menghadapi kemarahan ibunya. Sapu lidi yang mencambuk kaki, seolah tanpa daya. Aisyah berjuang menahan keinginan meraung. Â
Tidak! Aku harus kuat seperti Rambo!
"Tivi kita lebih besar dari punya si Dahler. Kenapa tak nonton di rumah saja? Ini, berani pulang malam. Mau jadi apa kau, Aisyah!"
Menonton tivi di rumah untuk sebuah film buruk? Ah, pasti tak mungkin! Ibunya akan sangat keras memegang remote control seolah kerasnya niat seorang tentara menjaga posnya. Ayah Aisyah juga bisa rewel mengatakan hari sudah malam. Waktunya tidur untuk anak seusia dia.
* * *
"Apa? Mau jadi Rambo?" Anak-anak itu tertawa terkekeh. Bahkan Landong sampai bergulingan di pasir. Aisyah cemberut. Dia menaiki batu besar di tengah tanah lapang dan berdiri di atasnya sambil berkacak-pinggang.
"Apa salahnya jadi Rambo? Ayo, jawab!" Anak-anak itu kontan terdiam. Meskipun mereka adalah lima anak laki-laki, tapi menentang keinginan Aisyah yang menggelikan, bukan perkara gampang. Aisyah anak yang baik hati dan pemurah. Di antara anak-anak kampung situ, kehidupan Aisyah-lah yang lebih mendingan. Â Teman-teman Aisyah adalah anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata tak bisa bersekolah dengan nyaman. Artinya bisa sekolah, namun tak rutin setiap hari. Lebih sering bolosnya. Atau ada yang memilih tak sekolah sama sekali karena orangtuanya sangat tak sanggup.
"Turunlah! Tak usah marah begitu. Mari kita bermain petak-umpet saja!" Landong yang paling seru tertawanya, mencoba membujuk sang putri perajuk.
"Aku tak mau! Kita harus main perang-perangan!" Aisyah bergeming. Anak-anak yang mengelilingi batu tempat Aisyah berdiri, saling bersitatap. "Kalau tak...," lanjut Aisyah mengancam.Â
"Ya, ya, kami mau!" Serentak anak-anak setuju. Mereka tahu ancaman Aisyah akan membuat mereka merana. Sekali Aisyah mengajak musuhan, anak-anak itu tak mudah lagi merasakan makan siang yang puas dan berkeringat.Â