Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Golok

15 Mei 2019   12:54 Diperbarui: 15 Mei 2019   13:22 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Namaku Golok. Entah ilham dari mana, hingga Bapak tercetus menabalkan namaku demikian. Seharusnya aku bertanya kepadanya perihal itu. Akan tetapi Bapak meninggal dunia saat aku belum bisa mengucapkan kata; golok.

"Seharusnya ada nama yang lebih bagus untukku selain Golok!" Suatu kali aku memerotes kepada Emak. Yang diprotes hanya tersenyum sambil tak lepas-lepas melihat hasil rajutannya.

Entah pula karena bernama Golok, aku sedemikan ditakuti warga. Temperamenku memang tinggi. Suka marah dan membentak-bentak. Ketika berusia tujuh belas tahun, aku telah menguasai pasar. Menjadi centeng. Upeti yang kuterima selalu memenuhi kantong. Kendati yang tersisa sampai ke rumah, hanya beberapa lembar ribuan. Maklum, upeti biasanya habis di pasar. Dipakai berjudi, minum-minum, merokok atau bersantap juadah yang lezat-lezat.

Sampai sekarang aku masih menjadi centeng di pasar. Dan pagi tadi aku sudah memiting leher pedagang bakso, membogem kernet bis kota yang ogah mengeluarkan uang setoran, juga membentak orang berseragam yang berangasan menggasak kaki lima. Saat bersantai menyeruput kopi---masih dengan hati menggelegak---Yastrib menemuiku.

"Wajahmu sudah sering kulihat di koran. Sudah kaya rupanya!" todongku.

Yastrib kawan sepermainanku. Bedanya dia sekolah sampai bergelar sarjana. Sedangkan aku SD saja tak tamat. Dia berkarib dengan orang-orang necis. Dia pun sudah bisa duduk manis di perusahaan terpandang, sekaligus dekat dengan pejabat teras pemerintahan. 

Lama kami tak berjumpa. Lama aku tak bisa mencicipi buah keringatnya. Kalaupun dia sekarang di hadapanku, pastilah butuh bantuan, misal mengurusi perkara yang tak jauh-jauh dari kekerasan. Meskipun tersenyum sumringah, kutahu berita yang akan pecah di mulutnya adalah keras!

"Ah, biasa saja, Marpaung!" katanya. Orang yang menghormatiku lebih sering memanggilku dengan panggilan parna, bukan Golok. Kendati di belakang, mereka seenak perut mengataiku dengan Golok. "Kebetulan aku banyak urusan dengan pemberitaan dan lagi ada hajad menjadi tim sukses calon bapak kita." Dia mengeluarkan rokok putih. Aku terbahak. Kugencet saja kotak rokok bermerk barat itu dengan jempol tangan. Aku masih lebih suka rokok kretek.

"Jadi, akan kau apakan aku? Jadi centeng bapak kita?" Aku tergelak. Tambah tergelak karena Yastrib memang pintar merayu. Seorang perempuan mengantarkan beberapa botol minuman dan sebungkus besar kacang kulit, ya... tak lain sebagai sekapur sirih. Persembahan untuk genderuwo pasar.

Perbincangan menjadi lancar. Yastrib berniat mengangkatku menjadi tim suskes mengepalai semua preman pasar. Janjinya, kelak jika bapak kita terpilih menjadi pemimpin kota, adalah untukku kursi yang basah. Begitu kutanya kursi yang bagaimana, Yastrib hanya mengakhiri tanyaku dengan kata; adalah... Dan perlu kuralat, berita yang pecah di mulut Yastrib, ternyata selembut agar-agar.

Tak biasanya, kemudian pulang ke rumah, aku langsung mandi bersih-bersih. Berpakaian agak necis, rambut klimis. Emak sampai tergelak, lalu membenarkan sugi tembakau di mulutnya. Dalam hatinya pasti bunga mawar bermekaran. Dia yakin aku sedang jatuh cinta. Dia yakin sebentar lagi aku mengatakan ingin menikah. Dia yakin segera memomong cucu nomor satu dari anak satu-satunya. Ya, bagaimana pun Emak sudah sangat mengharap itu. Bahkan sudah berbilang tahun telingaku gatal karena dia selalu merecoki dengan kata; menikah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun